Cari Blog Ini

Selasa, 08 Maret 2011

TATA NIAGA SEBAGAI KEGIATAN PRODUKTIF DAN BERSIFAT KOMPLEKS

Tataniaga Sebagai Kegiatan Produktif

Tataniaga Menembah Nilai Guna Dari Barang-Barang Dan Jasa-Jasa
Dalam teori ekonomi lama ada pendapat mengatakan bahwa kegiatan dalam perusahaan yang produktif hanyalah dalam sektor produksi saja. Misalnya menanam padi, beternak, dan lain-lain. Kemajuan peradaban, teknologi dan perkembangan ekonomi telah merobah pandangan tersebut yaitu bahwa setiap usaha yang dapat memberikan faedah atau guna (utility) adalah sesuatu yang juga termasuk kegiatan yang produktif.
Beberapa ahli ekonomi menggambarkan produksi itu sebagai penciptaan nilai guna (utility), yaitu proses bagaimana membuat barang dan jasa bermanfaat. Proses penciptaan nilai guna tersebut merupakan kegiatan productive, yang selanjutnya dapat digolongkan ke dalam: (a) place utility (kegunaan karena tempat), (b) form utility (kegunaan karena bentuk), (c) possesion/ ownership utility (kegunaan karena milik) dan, (d) time utility (kegunaan karena waktu).
Kegiatan tata niaga umumnya kebanyakan berorientasi dengan utility tersebut. Sebagai contoh, pohon-pohon kayu di hutan belantara secara ekonomis tidak punya nilai guna, akan tetapi bila ditebang dan diangkat ke kampung paling sedikit bernilai guna untuk bahan bakar (Place Utility). Jelas dalam hal ini ada korban (input) kegiatan desa (paling sedikit tebang). Bila kayu balok tadi dipotong dan dijadikan papan atau beroti (perobahan bentuk), maka faedah kegunaan semakin ditingkatkan (Form Utility). Bila dilanjutkan lagi papan diolah menjadi lemari, meja dan lain-lain. Perubahan bentuk ini semakin memberi nilai kegunaan yang lebih tinggi. Para tukang pembuat lemari, meja dan lain-lain, akan
menjualnya kepada konsumen (karena dibutuhkan) yang memberikan kepuasan (faedah) atau kegunaan baginya. Maka terjadilah peralihan pemilikan (Possesion Utility) atau (Ownership Utility) melalui proses jual beli. Barang-barang dan jasa selalu dibutuhkan pada waktu-waktu tertentu. Jadi barang harus tersedia setiap saat dibutuhkan oleh konsumennya (kegunaan waktu (time utility). Kegiatan menyimpan barang, misalnya pada saat panen harganya turun dan pada waktu paceklik dijual, termasuk dalam kegunaan waktu (Time Utility). Dengan penjelasan melalui contoh diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tata niaga itu adalah kegiatan yang produktif.
Bertitik tolak dari tinjauan tata niaga dari aspek kegunaan maka defenisi tata niaga adalah “segala kegiatan manusia yang berhubungan dengan penciptaan nilai guna dari barang-barang dan jasa-jasa”.
Alex Nitisemito menggambarkan arti pentingnya tata niaga sebagai berikut: “tidak ada suatu perusahaan yang mampu bertahan bilamana perusahaan tersebut tidak mampu memasarkan/menjual barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkannya. Oleh karena itu bilamana suatu perusahaan dimisalkan sebagai tubuh manusia maka kegiatan tata niaga itu dapatlah dimisalkan sebagai kegiatan jantung manusia. Apabila jantung terganggu maka seluruh tubuh juga akan terganggu dan apabila “jantung” berhenti, maka matilah perusahaan tersebut. Disamping pendapat yang menyatakan tata niaga produktif ada pula pendapat menyatakan tata niaga tidak produktif. Pendapat ini diajukan dengan latar belakang kehidupan Robinson Cruses disuatu pulau. Sudah barang tentu dijaman ini fungsi pertukaran belum memainkan peranan.

Tata Niaga Menekankan Cara Suatu Produksi Dapat Sampai Ke Tangan Konsumen
Tata niaga merupakan salah satu cabang aspek pemasaran yang menekankan cara suatu produksi dapat sampai ke tangan konsumen. Tata niaga dapat dikatakan efisien apabila mampu menyampaikan hasil produksi kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya dan mampu mengadakan pembagian keuntungan yang adil
Tataniaga bisa diartikan sama dengan pemasaran atau distribusi yaitu suatu kegiatan ekonomi yang berfungsi menyampaikan barang dari produsen kekonsumen. Disebut tataniaga karana niaga berarti dagang sehingga tataniaga mempunyai arti pula segala sesuatu yang menyangkut aturan media dalam hal perdagangan barang-barang.
Perekonomian yang menyangkut persoalan cara kita hidup dapat dibagi ke dalam tiga aspek pokok, yaitu :
1. Produksi, merupakan tindakan pembuatan barang-barang yang berkaitan dengan penciptaan atau penambahan kegunaan daripada barang dan jasa.
2. Distribusi, merupakan tindakan yang bertalian dengan pergerakan barang dan jasa dari produsen ke konsumen.
3. Konsumsi, merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pemakaian danpenurunan mutu dan kegunaan dari barang dan jasa.


Tataniaga Mampu Mengatasi Karakteristik/Fenomenal Pada Produk Pertanian
Karakteristik produk Pertanian, antara lain:
Voluminous
Memerlukan ruang dan biaya penyimpanan yang relatif besar
Biaya pengangkutan mahal
Harga produk relatif sangat kecil dibandingkan dengan volumenya
Biaya total pemasarannya seringkali jauh lebih besar secara proporsional dibandingkan dengan biaya produksinya
Penawaran produknya relatif kecil:
Secara perorangan petani pada umumnya merupakan suplier kecil yang tidak memiliki posisi tawar dalam menentukan harga. Penetapan harga pada umumnya dikuasai oleh pelaku pasar lain
Mudah rusak / perishable
Produk agronomi dikenal tidak tahan lama dan sangat mudah rusak. Hal ini disebabkan antara lain oleh rendahnya kualitas penanganan pasca panen, kandungan air yang relatif tinggi dan faktor-faktor lain yang lekat dengan karakteristik biologis dan fisiologis produk agronomi itu sendiri.
Tergantung pada alam
Produk agronomi bersifat spesifik dalam kaitannya dengan factor klimatologi. Seluruh aspek alamiah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produk agronomi. Produk tertentu hanya dapat ditanam pada kondisi alam tertentu dan dipanen hanya di musim-musim tertentu. Perubahan kondisi
alam di luar kecenderungan alamiahnya akan berakibat pada kegagalan panen. Berdasarkan sifat semacam ini produk agronomi tergolong produk beresiko tinggi.
Bersifat musiman
Ketersediaan produk agronomi bersifat musiman, pada saat panen produk tersedia di pasar dalam jumlah melimpah sebaliknya sebelum dan sesudah saat panen terjadi kelangkaan pasokan di pasar. Hal ini menciptakan struktur harga pasar yang tidak menguntungkan bagi produk agronomi sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran (harga turun bila terjadi kelebihan pasokan dan harga naik bila terjadi kekurangan pasokan produk di pasaran).
Memiliki banyak produk substitusi
Baik sebagai produk yang langsung dikonsumsi maupun sebagai input produksi produk agronomi bersifat substitusi satu sama lain. Artinya kebutuhan akan satu jenis produk agronomi jika tidak tersedia maka dapat digantikan dengan jenis produk agronomi yang lain


Tataniaga Bersifat Kompleks

Pemasaran Produk Pertanian Umumnya Bersifat Konsentrasi-Distributif
Proses pembelian hasil produksi petani dari sentra produksi dan diteruskan ke daerah konsentrasi konsumsi berlangsung sulit dan mahal sebab pemasaran produk pertanian umumnya bersifat konsentrasi-distributif, tidak seperti produk industri yang proses pemasarannya berlangsung secara distributive.

Tataniaga Mengikutsertakan Beberapa Lembaga Pemasaran
Proses tataniaga, dilaksanakan bersama atau dengan mengikutsertakan beberapa lembaga pemasaran lain yang membantu terjalinnya pertemuan antara penjual dan pembeli. Mereka melakukan berbagai kegiatan mulai dari pembelian, penjualan, pengangkutan, pengolahan, penyimpanan, pengepakan dan lain sebagainnya (Hanafiah dan Saefuddin, 1983).
Selanjutnya banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat dalam pemasaran hasil pertanian akan mempengaruhi panjang pendeknya rantai tataniaga dan besarnya biaya tataniaga. Besarnya biaya tataniaga akan mengarah pada semakin besarnya perbedaan harga antara petani produsen dengan konsumen. Hubungan antara harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen pabrikan sangat bergantung pada struktur pasar yang menghubungkannya dan biaya transfer. Apabila semakin besar margin pemasaran ini akan menyebabkan harga yang diterima petani produsen menjadi semakin kecil dan semakin mengindikasikan sebagai sistem pemasaran yang tidak efisien (Tomek and Robinson, 1990).


Sentra Produksi Pertanian Yang Tersebar Sangat Jauh Dari Tempat Konsumen
Pada kenyataannya pemasaran hasil pertanian yang diproduksi pada sentra produksi yang tersebar sangat jauh dari tempat konsumen (baik itu perdagangan dalam suatu daerah, antar daerah (pulau), bahkan antar negara). Atau dengan kata lain jarang sekali (sangat sedikit) produsen berhadapan langsung (melakukan transaksi) dengan konsumen akhir. Oleh sebab itu perlu mempelajari margin pemasaran dalam tataniaga pertanian. Margin pemasaran ditinjau dari dua sisi, yaitu pandangan harga dan biaya pemasaran.

Kegiatan-Kegiatan Tataniaga Meliputi Beberapa Proses
Kegiatan-kegiatan tataniaga yang dilihat berdasarkan arus barang yang meliputi beberapa proses, yaitu (Hanafiah dan Saefuddin, 1983) :
1. Proses pengumpulan
Pengumpulan merupakan proses pertama dari arus barang. Barang-barang yang dihasilkan dalam jumlah kecil dikumpulkan menjadi jumlah yang besar, agar dapat disalurkan ke pasar-pasar eceran secara lebih efisien.
2. Proses pengimbangan
Pengimbangan merupakan proses tahap kedua dari arus barang, terjadi antara proses pengumpulan dan proses penyebaran. Proses pengimbangan merupakan tindakan penyesuaian antara permintaan dan penawaran berdasarkan tempat, waktu, jumlah dan kualitas


3. Proses penyebaran
Penyebaran merupakan proses tahap akhir daripada arus barang, dimana barang-barang yang telah terkumpul disebarkan ke konsumen atau pihak yang menggunakannya.

Adanya Beberapa Biaya Pemasaran dan Margin Biaya
Biaya pemasaran adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan dalam proses transfer barang (produk) dari tangan produsen samapi ketangan konsumen akhir.
Pembiayaan pemasaran adalah pembiayaan kegiatan dan investasi modal terhadap barang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan dalam proses tataniaga.
Besar kecilnya biaya tataniaga hasil pertanian tergantung dari volume (besar kecilnya) lembaga-lembaga tataniaga melakukan kegiatan fungsi-fungsi tataniaga, dan jumlah fasilitas yang diperlukan dalam proses transfer barang.
Misal: biaya tataniaga padi akan lebih besar dari biaya tataniaga sayur-sayuran (bayam dan kangkung), karena fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemsaran pada dua komoditi yang berbeda ini juga berbeda. Pada tataniaga padi lembaga pemasaran yang terlibat akan melakukan fungsi-fungsi tataniaga yang memerlukan biaya yang lebih besar, seperti: mengumpulkan padi dari berbagai petani, penyimpanan (memerlukan biaya gudang), pengolahan padai menjadi beras (biaya pengolahan), pengagungkatan, pengepakan (kemasan), dan lain-lain. Sedangkan tataniaga sayuran pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran lebih sederhana, misalnya setelah sayuran dipetik dapat langsung dipasarkan ke pedagang pengecer.
Jenis-jenis biaya tataniaga:

1. Biaya persiapan dan pengepakan produk (Preparation and packaging cost), kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam komponen ini adalah:
Pembersihan
Sortasi dan grading
Pengepakan
2. Biaya penanganan (handling cost), mencakup kegiatan-kegiatan:
Penimbangan
Pengepakan ulang produk pada pedagang perantara
Bongkar dan muat produk dari alat angkut
Sortasi dan grading ulang oleh pedagang
3. Biaya pengangkutan (transportation cost), mencakup:
Biaya angkut per unit produk (jika menggunakan angkutan umum)
Biaya bahan bakar, perbaikan alat angkutan
Asuransi dan pajak yang harus dibayar dari angkutan
Biaya lain-lain selama produk dalam perjalanan
4. Kehilangan produk (product losses), yaitu kehilangan atau penyusutan produk yang terjadi selama pengankutan, penyimpanan atau akibat kegiatan-kegiatan lain seperti pada waktu pencucian, handling, sortasi dan grading yang dilakukan. Biaya kehilangan produk dihitung dengan mengasumsikan produk yang hilang tersebut terjual.
5. Biaya penyimpanan (storage cost), mencakup:
Biaya fisik penyimpanan akibat penggunaan tempat penyimpanan, seperti penyusutan gedung, keamanan, listrik, dll

Biaya perbaikan kualitas produk selama penyimpanan, seperti biaya pembelian bahan-bahan kimia.
Biaya yang termasuk dalam biaya kehilangan produk
Biaya finansial (financial cost) yang harus diterima pemilik produk selama produk dalam gudang penyimpanan.
6. Biaya pengolahan (processing cost), mencakup seluruh biaya yang digunakan dalam proses transformasi produk primer menjadi produk olahan, seperti bahan bakar, tenaga kerja, penyusutan alat.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam biaya pengolahan adalah faktor konversi produk primer menjadi produk olahan, seperti 1 kg padi dikonversikan dengan 65-70 persen beras setelah di huller.
Untuk menghitung biaya pengolahan perlu diketahui:
Faktor konversi
Jumlah (kuantitas) produk
Biaya pengolahan
7. Fees, commissions and unofficial payments, mencakup biaya-biaya yang dibayar oleh lembaga pemasaran, seperi biaya-biaya pengurusan izin usaha, biaya komisi yang dibayarkan kepada agen dan pedagang besar, serta biaya-biaya tidak resmi lainnya yang dibayarkan oleh lembaga pemasaran selama proses pemasaran produk.


DAFTAR PUSTAKA


Azzaino, Z. 1982. Pengantar Tata Niaga Pertanian. Departemen Pertanian Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor

Sudiyono, A. 2001. Pemasaran Pertanian. Penerbit Universitas Muhamadiyah Malang. (UMM Press). Malang.




\

PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PENATAAN RUANG DI INDONESIA (TINJAUAN TEORITIS DAN PRAKTIS)

ABSTRAK
Makalah ini berisikan pemaparan tentang konsep pengembangan wilayah dan penataan ruang secara umum di Indonesia, yang didasarkan atas pengayaan atas aspek teoritis dan aspek pengalaman empiris. Pada bagian selanjutnya dipaparkan isu strategis penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia, serta kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah yang telah dan akan memberikan beberapa implikasi penting. Pada bagian akhir disampaikan kebijakan dan strategi penataan ruang yang ditempuh oleh pemerintah dalam upaya mewujudkan tujuan dan sasaran pengembangan wilayah, sekaligus mengatasi berbagai permasalahan aktual pembangunan.
I. Konsep Pengembangan Wilayah
Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis, pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang yang telah diujiterapkan dan kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia.

Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa – kota (rural – urban linkages) dalam pengembangan wilayah.
Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah diatas kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran cemerlang putra-putra bangsa. Diantaranya adalah Sutami (era 1970-an) dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumberdaya alam akan mampu mempercepat pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota dan hirarki prasarana jalan melalui Orde Kota. Selanjutnya adalah Ruslan Diwiryo (era 1980-an) yang memperkenalkan konsep Pola dan Struktur ruang yang bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang. Pada periode 1980-an ini pula, lahir Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (SNPP) sebagai upaya untuk mewujudkan sitem kota-kota nasional yang efisien dalam konteks pengembangan wilayah nasional. Dalam perjalanannya SNPP ini pula menjadi cikal-bakal lahirnya konsep Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) sebagai upaya sistematis dan menyeluruh untuk mewujudkan fungsi dan peran kota yang diarahkan dalam SNPP. Pada era 90-an, konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, misal antara KTI dan KBI, antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad millennium, bahkan, mengarahkan konsep pengembangan wilayah sebagai alat untuk mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan pemahaman teoritis dan pengalaman empiris diatas, maka secara konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI.
Berpijak pada pengertian diatas maka pembangunan seyogyanya tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral yang bersifat parsial, namun lebih dari itu, pembangunan diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang bersifat komprehensif dan holistik dengan mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya alam, buatan, manusia dan sistem aktivitas), yang didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya.

II. Konsep Penataan Ruang di Indonesia.
Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang didalamnya memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia2, maka ditempuh melalui upaya
penataan ruang yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yakni :
proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai “guidance of future actions” RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).
proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri,
proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.
Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah. Di Indonesia, penataan ruang telah ditetapkan melalui UU No.24/1992 yang kemudian diikuti dengan penetapan berbagai Peraturan Pemerintah (PP) untuk operasionalisasinya.
Berdasarkan UU No.24/1992, khususnya pasal 3, termuat tujuan penataan ruang, yakni terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan budidaya. Sedangkan sasaran penataan ruang adalah :
mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera,
mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia,
mewujudkan keseimbangan kepentingan antara kesejahteraan dan keamanan,
meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdayaguna, berhasil guna dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Sesuai dengan UU 24/1992 tentang penataan ruang, sistem perencanaan tata ruang wilayah diselenggarakan secara berhirarkis menurut kewenangan administratif, yakni dalam bentuk RTRW Nasional, RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota serta rencana-rencana yang Secara nasional, pada saat ini tidak banyak dokumen yang memuat tujuan dan sasaran kewilayahan, selain yang termuat di dalam GBHN 1999 – 2004 dalam rangka mengatasi kesenjangan Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI), Agenda Kabinet Gotong Royong untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta di dalam PP No.47/1997 tentang RTRWN sifatnya lebih rinci. RTRWN disusun dengan memperhatikan wilayah Nasional sebagai satu kesatuan wilayah yang lebih lanjut dijabarkan kedalam strategi serta struktur dan pola pemanfaatan ruang pada wilayah propinsi (RTRWP), termasuk di dalamnya penetapan sejumlah kawasan tertentu dan kawasan andalan yang diprioritaskan penanganannya.
Aspek teknis perencanaan tata ruang wilayah dibedakan berdasarkan hirarki rencana. RTRWN merupakan perencanaan makro strategis jangka panjang dengan horizon waktu hingga 25 - 50 tahun ke depan dengan menggunakan skala ketelitian 1 : 1,000,000. RTRW Propinsi merupakan perencanaan makro strategis jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun pada skala ketelitian 1 : 250,000. Sementara, RTRW Kabupaten dan Kota merupakan perencanaan mikro operasional jangka menengah (5-10 tahun) dengan skala ketelitian 1 : 20,000 hingga 100,000, yang kemudian diikuti dengan rencana-rencana rinci yang bersifat mikro-operasional jangka pendek dengan skala ketelitian dibawah 1 : 5,000.
Selain penyiapan rencana untuk wilayah administratif, maka disusun pula rencana pengembangan (spatial development plan) untuk kawasan-kawasan fungsional yang memiliki nilai strategis. Misalnya, untuk kawasan dengan nilai strategis ekonomi, maka disusun rencana pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) dan kawasan andalan. Sementara itu untuk kawasan dengan nilai strategis pertahanan keamanan (security), disusun rencana pengembangan kawasan perbatasan negara, baik didarat maupun di laut. Selain itu juga disusun rencana pengembangan kawasan agropolitan (sentra-sentra produksi pertanian), dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan pengembangan sistem permukiman, maka didalam RTRWN sendiri telah ditetapkan fungsi kota-kota secara nasional berdasarkan kriteria tertentu (administratif, ekonomi, dukungan prasarana, maupun kriteria strategis lainnya) yakni sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Untuk mewujudkan fungsi-fungsi kota sebagaimana ditetapkan dalam RTRWN secara bertahap dan sistematis, maka pada saat ini tengah disusun review Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (SNPP). Dengan kata lain, SNPP dewasa ini merupakan bentuk penjabaran dari RTRWN.


III. Isu Strategis Penataan Ruang di Indonesia.
Presiden Republik Indonesia dalam sambutannya pada saat Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional baru-baru ini di Surabaya menegaskan beberapa isu strategis dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, yakni :
terjadinya konflik kepentingan antar-sektor, seperti pertambangan, lingkungan
hidup, kehutanan, prasarana wilayah, dan sebagainya,
belum berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka menyelaraskan,
mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan program sektor tadi,
terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang
seharusnya ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam pengendalian pembangunan,
belum tersedianya alokasi fungsi-fungsi yang tegas dalam RTRWN,
belum adanya keterbukaan dan keikhlasan dalam menempatkan kepentingan sektor dan wilayah dalam kerangka penataan ruang, serta kurangnya kemampuan menahan diri dari keinginan membela kepentingan masingmasing secara berlebihan.
Senada dengan isu yang dikemukakan Presiden RI, Menko Perekonomian pada forum yang sama menyebutkan adanya 3 (tiga) isu utama dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, yang meliputi :
(a) konflik antar-sektor dan antar-wilayah, (b) degradasi lingkungan akibat penyimpangan tata ruang, baik di darat, laut dan udara, serta (c) dukungan terhadap pengembangan wilayah belum optimal, seperti diindikasikan dari minimnya dukungan kebijakan sektor terhadap pengembangan kawasan-kawasan strategis nasional dalam RTRWN seperti kawasan perbatasan negara, kawasan andalan, dan KAPET. (Uraian terhadap berbagai isu diatas akan disajikan sebagai berikut).
Pada era otonomi daerah, inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat cenderung diselenggarakan untuk memenuhi tujuan jangka pendek, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Konversi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah praktek pembangunan yang kerap terjadi. Di Pulau Jawa misalnya, hutan lindungnya telah terkonversi dengan laju sebesar 19.000 ha/tahun (BPS,2001). Bahkan Badan Planologi Kehutanan menyebutkan bahwa hingga 2001 penjarahan hutan di Jawa telah mencapai 350.000 ha sehingga luas hutan tersisa 23% saja dari luas daratan Pulau Jawa. Selain itu, terjadi konversi lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian seperti untuk industri, permukiman dan jasa di Pulau Jawa yang mencapai 1.002.005 ha atau 50.100 ha/tahun antara 1979 – 1999 (Deptan, 2001). Contoh lainnya adalah penurunan luas kawasan resapan air pada pulau-pulau besar yang signifikan. Hutan tropis, misalnya, sebagai kawasan resapan air telah berkurang luasannya baik akibat kebakaran dan penjarahan/ penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa antara tahun 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Dengan kerusakan hutan yang berfungsi lindung tersebut maka akan menimbulkan run-off yang besar, mengganggu siklus hidrologis, memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang, serta meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada kawasan pesisir, Selain itu kondisi satuan-satuan wilayah sungai di Indonesia telah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Dari keseluruhan 89 SWS yang ada di Indonesia, hingga tahun 1984 saja telah terdapat 22 SWS berada dalam kondisi kritis3. Pada tahun 1992, kondisi ini semakin meluas hingga menjadi 39 SWS. Perkembangan yang buruk terus meluas hingga tahun 1998, dimana 59 SWS di Indonesia telah berada dalam kondisi kritis, termasuk hampir seluruh SWS di Pulau Jawa. Seluruh SWS kritis tersebut selain mendatangkan bencana banjir pada musim hujan, sebaliknya juga menyebabkan kekeringan yang parah pada musim kemarau. Dari sisi ketahanan pangan, bilamana kecenderungan negatif dalam pengelolaan SWS tersebut terus berlanjut, maka produktivitas sentra-sentra pangan yang terletak di SWS-SWS potensial (seperti Citarum, Saddang, Brantas, dsb) akan terancam pula.
Tingkat kekritisan pada SWS dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yakni : (1) coefficient of variation yang menggambarkan fluktuasi debit atau kestabilan air, (2) indeks penggunaan air yang mencerminkan rasio antara jumlah air yang digunakan dengan ketersediaan air, serta (3) pencemaran air akibat masuknya limbah domestik, industri, pertanian, maupun pertambangan.
DAFTAR PUSTAKA
Akil, Sjarifuddin., Tinjauan Umum Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang, Draft-3, Sumbangan Tulisan untuk Sejarah Tata Ruang Indonesia 1950 – 2000, Jakarta, 25 Maret 2003.
Dirjen Penataan Ruang – Depkimpraswil, Perencanaan Tata Ruang Wilayah dalam Era Otonomi dan Desentralisasi, Makalah pada Kuliah Perdana Program Pasca Sarjana Magister Perencanaan Kota dan Daerah – Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 5 Mei 2003.
Dirjen Penataan Ruang – Depkimpraswil, Kebijakan, Strategi dan Program Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Pertemuan dengan Para Widyaiswara Depkimpraswil, Jakarta, 19 Agustus 2003.
Dokumen Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) tentang Kesepakatan Gubernur Seluruh Indonesia pada RAKERNAS – BKTRN, Surabaya, 14 Juli 2003.
Dokumen Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) tentang Rumusan Pokok-Pokok Hasil RAKERNAS – BKTRN, Surabaya, 14 Juli 2003
Menteri Koordinator Perekonomian selaku Ketua BKTRN, Visi Penataan Ruang, Arahan pada RAKERNAS – BKTRN, Surabaya, 14 Juli 2003.

karakteristik tanah salin dan lahan rawa pasang surut di Desa Sei Tuan Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Desa Sei Tuan Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang merupakan daerah dengan luas lahan rawa pasang surut ± 180 ha, yang sejak dari tahun 1972-an lahan tersebut tidak dapat ditanami oleh warga setempat. Karena pada saat itu aliran air sungai dipengaruhi air laut sehingga lahan selalu tergenang dan menjadi kendala dalam mengembangkan tanaman pertanian pada daerah itu. Pada tahu 60-72 komoditi yang ditanam adalah tanaman padi (Oryza sativa) dengan hasil rata-rata 30 kg/rante.
Lahan tersebut bila terjadi pasang besar tingginya mencapai ± 30 selama 6 jam pasang dari laut terjadi, sedangkan pada saat keadaan surut air pasang mati dapat mencapai ketinggian ± 10 cm. Dan pada saat ini lahan tersebut diperebutkan oleh PUSKOPAD (Pusat Koperasi Angkatan Darat) dengan penduduk karena akan ditanami tanaman kelapa sawit.
Lahan sawah yang terletak berdekatan dengan kawasan pantai dapat mengakibatkan salinitas dan menurunnya unsur hara yang tersedia bagi tanaman. Oleh sebab itu, biasanya pada lahan persawahan di dekat pantai diberi bendungan-bendungan sungai agar air laut tidak tercampur/menyatu dengan air sungai saat pasang.
Tanah Sawah bukan merupakan terminologi klasifikasi untuk suatu jenis tanah tertentu, melainkan istilah yang menunjukkan cara pengelolaan berbagai jenis tanah untuk budidaya padi sawah. Secara fisik, tanah sawah dicirikan oleh terbentuknya lapisan oksidatif atau aerobik di atas lapisan reduktif atau anaerobik di bawahnya sebagai akibat penggenangan.
Tanah salin : tanah yang mempunyai kadar garam netral larut dalam air sedemikian sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dengan kebanyakan tanaman. Kurang dari 15% KTK tanah ditempati oleh NK dan biasanya nilai pH. Tanah bergaram umumnya terdapat di daerah arid dan semiarid, dimana biasanya mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman. Sehingga akibatnya, garam tidak tercuci dari tanah malahan mereka berakumulasi dengan jumlah atau tipe yang merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Masalah garam tidak terbatas untuk daerah arid dan semiarid. Mereka dapat berkembang baik di daerah subhumid dan humid di bawah kondisi yang tepat. Prinsip kimia tanah dapat diaplikasikan langsung untuk mempelajari prinsip kimia tanah dan manajemen tanah bergaram.

Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui kajian karakteristik tanah salin dan lahan rawa pasang surut di Desa Sei Tuan Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Tanah Salin

Tanah-tanah salin mempunyai pH tanah = 8,5 atau lebih rendah. Tanah-tanah sodik dapat memiliki pH tanah = 10, tetapi beberapa tanah ini dapat bereaksi netral, sedang yang lain bereaksi masam. Untuk membedakan tanah-tanah salin dan sodik dari jenis-jenis tanah yang lain. Laboratorium Salinitas mengusulkan garam terlarut dari kadar Na+ tertukarkan sebagai kriteria. Parameter-parameter tersebut dinyatakan dalam bentuk (1) daya hantar listrik (DHL) bagi kadar garam dan (2) persentase natrium dapat ditukar (PNT) bagi kadar Na+ tertukarkan. Salinitas tanah ditetapkan dengan mengukur DHL dalam mmho/cm pada ekstrak jenuh tanah. Yang tersebut terakhir ini diperoleh dari penghisapan dan penyaringan pasta jenuh-air. BD dari tanah mempengaruhi terhadap porosita tanah, yaitu apabila BD rendah porositasnya tinggi, dan apabila BD tinggi porositasnya rendah (Hasibuan, 2008).
Berdasarkan nilai PNT dan DHL dikenal tiga kelompok tanah yaitu : (1) tanah salin, (2) tanah salin-alkali, dan (3) tanah bukan salin alkali (sodik). Tanah salin dicirikan oleh DHL > 4 mmho/cm pada 25 oC, dan PNT < pnt =" 15%."> 4 mmho/cm pada 25oC, dan PNT > 15%. Jenis tanah ini mempunyai garam bebas dan Na+ yang dipertukarkan. Selama garam ada dalam jumlah berlebih, tanah-tanah tersebut akan terflokulasi dan pH nya biasanya ≤8,5. jika tanah ini dilindi, kadar garam bebas menurun dan reaksi tanah dapat menjadi sangat alkalin (pH > 8,5) akibat berhidrolisis Na+ yang dapat dipertukarkan. Tanah bukan salin-alkali dicirikan oleh DHL 15%. Kebanyakan dari Na+ -nya ada dalam bentuk dipertukarkan dan hanya sejumlah kecil dari garam bebasnya terdapat dalam larutan tanah. Nilai pH tanah berkisar dari 8,5 hingga 10,0. sebagai akibat irigasi, kondisi akan sangat alkalin dapat terbentuk pada tanah ini dan pH tanah setinggi 10 merupakan hal yang umum (Sipayung, 2008).
Pemilihan nilai kritis untuk DHL pada 4 mmho/cm dilaporkan didasarkan atas kemungkinan tingkat kerusakan tanaman akibat kadar garam. Nilai DHL 4 mmho/cm bermula dari Scofield tahun 1942, yang menganggap tanah bersifat salin pada DHL 4 mmho/cm atau lebih tinggi. Pada nilai DHL ≥ 4 mmho/cm, produksi banyak jenis tanaman terbatas. Kamphorst dan Bolt (1976) mengunjuk bahwa DHL sebesar 4 mmho/cm bersesuaian dengan suatu tekanan osmotik pada kapasitas lapang sebesar 5 bar. Pada DHL antara 2 dan 4 mmho/cm, hanya tanaman-tanaman yang sangat rentan yang sangat terpengaruh, sedang pada nilai-nilai +. tambahan pula, tanaman yang berbeda akan berbeda reaksinya terhadap nilai PNT yang sama. Dan salin yang baik ini mengandung C-Organik Sebesar <1%, ini sangat rendah dan tidak baik (Cahtanah, 2009). Karakteristik Lahan Sawah Pasang Surut Lahan sawah yang terletak berdekatan dengan kawasan pantai dapat mengakibatkan salinitas dan menurunnya unsur hara yang tersedia bagi tanaman. Oleh sebab itu, biasanya pada lahan persawahan di dekat pantai diberi bendungan-bendungan sungai agar air laut tidak tercampur/menyatu dengan air sungai saat pasang (FAO, 2005). Tanah Sawah bukan merupakan terminologi klasifikasi untuk suatu jenis tanah tertentu, melainkan istilah yang menunjukkan cara pengelolaan berbagai jenis tanah untuk budidaya padi sawah. Secara fisik, tanah sawah dicirikan oleh terbentuknya lapisan oksidatif atau aerobik di atas lapisan reduktif atau anaerobik di bawahnya sebagai akibat penggenangan (Najiyati, dkk., 2006) Lahan rawa pasang surut adalah suatu wilayah rawa yang dipengaruhi oleh gerakan pasang surut dari air laut yang secara berkala mengalami luapan air pasang. Jadi lahan rawa pasang surut dapat dikatakan sebagai lahan yang memperoleh pengaruh pasang surut air laut atau sungai-sungai (Noor, 2004). Kriteria Kualitas Air Bagi Tanaman Air merupakan kebutuhan pokok bagi semua tanaman juga merupakan bahan penyusun utama dari protoplasma sel. Di samping itu, air adalah komponen utama dalam proses fotosintesis, pengangkutan assimilate hasil proses ini ke bagian-bagian tanaman hanya dimungkinkan melalui gerakan air dalam tanaman. Dengan peranan tersebut di atas, jumlah pemakaian air oleh tanaman akan berkorelasi posistif dengan produksi biomase tanaman, hanya sebagian kecil dari air yang diserap akan menguap melalui stomata atau melalui proses transpirasi (Adhi, dkk., 1997). Air di dalam tubuh tanaman terdapat disemua sel dan jaringan yang kadarnya berbeda-beda tergantung pada jenis sel, jenis jaringan dan jenis tumbuhan. Yang penting yaitu bukan banyaknya air di dalam tubuh tanaman, tetapi status keseimbangan antara penyerapan dan penguapan, dan berapa air itu ada dalam phase-phase pertumbuhan. Kehilangan air oleh sebab penguapan sangat ditentukan oleh faktor lingkungan di sekitar daun dan phase pertumbuhan tanaman (Hasibuan, 2008). Kualitas air dan masalah drainase sering berkaitan, sehingga pengendalian kedalaman air tanah menjadi sangat penting, sehingga garam akan berakumulasi pada bagian atas muka air tanah yang asin, sehingga jika muka air tanah terlalu dekat dengan perakaran tanaman maka tanaman akan terpengaruh. Drainase bawah permukaan sangat diperlukan dalam masalah ini (Noor, 2004). Budidaya Tanaman Padi Sawah Pada Tanah Pasang Surut Lahan sawah adalah lahan usaha pertanian yang secara fisik berpermukaan rata, dibatasi oleh pemotong selalu tergenang. Kebanyakan sawah digunakan untuk bercocok tanam jenis tanaman padi. Untuk kepentingan ini, sawah harus mampu menyangga genangan air karena air memerlukan penggenangan pada periode tertentu. Untuk mengairi sawah digunakan system irigasi dari mata air sungai atau air hujan (Suastika, dkk., 1997). Pada lahan sawah bagian atas bersuasana reduktif (anaerob) kerena pelumpuran dan penggenangan secara terus menerus yang berangsur-angsur atau tajam beralih menjadi menjadi suasana oksidatif (Rahyu, 2008). Syarat Tumbuh Padi (Oryza sativa) dapat tumbuh pada ketinggian 0-1500 m dpl dengan suhu 19 – 27 0C, memerlukan penyinaran matahari penuh tanpa naungan. Angin berpengaruh pada penyerbukan dan pembuahan. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1500 – 2000 mm. Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalah tanah sawah yang berlumpur. Ketebalan lapisan atasnya yang baik adalah antara 18 -22 cm dengan pH antara 4 -7 (AAK, 1997). Permasalahan Lahan Sawah Pasang Surut Kendala atau pembatas bagi usaha produksi padi didaerah lahan pasang surut adalah produksi dan hasilnya rendah, hama atau serangga penyerang batang (termasuk tikus), kurangnya tenaga kerja tanggap, transportasi yang serba terbatas/sulit. Pada umumnya petani didaerah-daerah ini bertanam padi hanya sekali dalam setahun. Varietas-varietas yang digunakannya adalah varietas yang sensitif terhadap serangan berbagai hama dan serangga. Kalau reklamasi dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya, tanah pasang surut sesungguhnya dapat menjadi member bahan pertanian, ini terbukti bahwa dengan cara-cara yang sederhana didukung oleh pengetahuan yang sederhana, penduduk dapat menjadikan lahan tersebut sebagai lahan pertanian yang membantu kehidupan mereka (Nugroho, 2007). Pada daerah persawahan pasang surut salah satu problema yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi adalah intuisi garam. Intuisi garam terjadi karena proses difusi ataupun perluapan oleh air laut, peristiwa itu terjadi pada pasang maksimum, dimana debit air sungai lebih kecil sehingga air laut masuk ke dalam sungai. Intuisi garam dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan dan merugikan. Pengaruh intuisi garam terhadap tanaman antara lain: 1. keracunan Cl- pada tanaman, 2. tekanan osmotik tinggi, 3. menaikkan potensial ionisasi sehingga koefisien aktivitas menurun dan menimbulkan gangguan absorbsi unsur-unsur seperti P, Zn dan Fe (Ritung, dkk., 2007). Lahan pasang surut dan lahan sulfat masam, terutama yang mengalami reklamasi, umumnya mengandung kadar garam yang tinggi sebagai akibat dari luapan pasang secara langsung atau resapan ataupun penyusupan air laut. Kelarutan garam yang tinggi dapat menghambat penyerapan (uptake) air dan hara oleh tanaman seiring dengan terjadinya peningkatan tekanan osmotik. Secara khusus, kegaraman yang tinggi menimbulkan keracunan tanaman, terutama oleh ion Na+ dan Cl- (Aplesnail, 2009). Reklamasi Lahan Sawah Pasang Surut Perbaikan lahan sawah berkadar bahan organik rendah, antara lain: 1.Penyiapan lahan, pekerjaan dalam penyiapan lahan terdiri dari pembersihan galengan, pemotong. 2.Kontruksi, meliputi pemberian kompos/pupuk organic pada saat pengolahan tanah. 3.Penanaman kultivar padi yang tahan terhadap stress garam (Noor, 2004). Reklamasi tanah pasang surut (salin) dengan cara: 1.Eradikasi, yakni pencucian garam-garam terlarut di dalam tanah dengan cara irigasi dan drainase. 2.Pertukaran kation, yakni penambahan bahan-bahan seperti GPS (CaSO4) atau batu kapur (CaSO4). 3.Penambahan bahan organik seperti tanah gambut (Notohohadriprawiro, 2009). Reklamasi lahan dapat dilakukan dengan sistem handil, kanal, sisir dan garpu. Akan tetapi, sistem ini pada setiap daereah memiliki kriteria sistem yang cocok secara khusus, misalnya di Kalimantan menggunakan sistem kanal dan garpu sedangkan Sumatera sistem sisir (Sumarsono, 2005). Pirit adalah zat yang ditemukan di tanah pada daerah pasang surut saja. Zat ini dibentuk waktu lahan tergenang oleh air laut yang masuk pada musim kemarau. Pada saat kondisi basah/tergenang pirit tidak berbahaya bagi tanaman, akan tetapi bila terkena udara (teroksidasi) pirit berubah bentuk menjadi zat besi dan asam belerang yang dapat meracuni tanaman (Hasibuan, 2008). BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan dilaksanakan di Desa Sei Tuan, Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Dengan ketinggian tempat ± 15 m dpl. Pada hari Sabtu, 31 Oktober 2009 pukul 09.00 WIB sampai dengan selesai. Bahan dan Alat Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah lahan rawa pasang surut sebagai objek praktikum, H2O2 untuk mengetahui kandungan pirit, Plastik untuk tempat sample tanah. Adapun alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah ring sample untuk mengambil sample BD, ring anak untuk menekan dari ring yang berada dibawah, spidol permanent untuk memberi tanda pada sample, label kertas untuk memberi tanda pada plastic, pisau pandu untuk memberi tanda pada lapisan tanah, parang untuk meruncingkan bambu, cangkul untuk mencangkul dan mengambil tanah, Bambu untuk mendeteksi lapisan pirit, Oven untuk mengeringkan sample tanah, ayakan tanah untuk mengayak tanah, dan alat tulis untuk mencatat hasil. Metode Percobaan Metode yang digunakan adalah metode survei lapangan dengan cara melakukan pengambilan beberapa sampel tanah di lahan sawah di Desa Sei Tuan Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm. Pengambilan contoh dilakukan dengan cara pengeboran dengan bor tanah. Pengambilan contoh tanah pada lokasi percobaan diberi tanda dan dikumpulkan dalam wadah. Setiap kemasan contoh tanah diberi label yang menandakan lokasi dan kedalaman pengambilan contoh tanah. Contoh tanah tersebut dianalisis di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Pelaksanaan Percobaan Pengambilan Sampel Tanah Ditentukan lokasi pengambilan sampel tanah Diambil beberapa sampel tanah secara zig zag pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm dengan menggunakan bor Diambil juga contoh tanah untuk parameter BD dengan menggunakan ring sampel Diletakkan contoh tanah tersebut dalam wadah plastik dan diberi label Diikat plastik contoh tanah tersebut dan dianalisis di laboratorium Penetapan karakteristik tanah salin lahan sawah Penetapan karakteristik fisik lahan salin lahan sawah pasang surut dilakukan secara visual yang meliputi drainase, bahan kasar, singkapan batuan, genangan, vegetasi dominan, genangan dan batuan di permukaan. Sedangkan penetapan karakteristik secara kimia dilakukan di laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan yang meliputi Daya Hantar Listrik, SAR, pH air, anion dan kation yang tergandung dalam air: Ca, Mg, Na. Parameter yang Dianalisis BD (g/cm3) TRP (%) KA (%) pH Test Pirit DHL Na SAR HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Data lapangan Waktu pengamatan : Sabtu, 31 Oktober 2009, pukul : 08.00 WIB sampai selesai Lokasi : Desa Percut Sei Tuan Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang Tinggi dari permukaan laut : 15 m Vegetasi dominan : padi (Oryza sativa) Titik Koordinat : utara : 03o40’54,2’’ dan selatan : 098o48’22,3’’ Tabel . Data Hasil Pengamatan Lapangan Secara Visual No Karakteristik Kedalaman (cm) 0 – 20 20 - 40 1 Drainase Buruk Buruk 2 Bahan kasar (%) <15 % <15 % 3 Singkapan batuan (%) <15 % <15 % 4 Struktur Tanpa struktur Tanpa struktur 5 Genangan sedang Sedang 6 Batuan dipermukaan (%) - - 7 Vegetasi dominan Padi dan jagung Padi dan jagung 8 Kemiringan lereng 0-3% 0-3% Tabel . Data Hasil Analisis Laboratorium Parameter Hasil Kriteria Kedalaman 20 cm Berat awal 7,9 gr DHL 1,2 mmhos/cm Mengandung sedikit garam BD 0,40 g/cm3 pH 7,7 pH basa Na 10,241 Mg 2,784 Ca 6,472 SAR 4,76 Nadd 0,034 Kedalaman pirit 20 cm C-Organik 2,13 % Berat sampel 48 g Volume sampel 118 cm3 Perhitungan BD = bobot tanah kering oven (BTKO) (g) Volume ring (cm3) = 48 118 = 0,40 gr/ cm3 SAR = Na √Mg + Ca 2 = 10,241 √2,784 + 6,427 2 = 10,241 √4,628 = 4,76 Pembahasan Dari hasil percobaan diketahui bahwa pH tanah adalah 7,7. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sampel tanah sawah tersebut adalah tanah salin yang dipengaruhi pasang surutnya air laut. Hal ini juga didukung oleh Desa Percut Sei Tuan yang dekat dengan pantai, keadaan air pasang di Desa Percut sei Tuan yang tidak mengalami surut kembali dan tergenang di tempat-tempat rendah atau bercekungan mengakibatkan tanah terakumulasi sehingga kadar garam tinggi (salinitas tinggi), hal ini ditunjukkan oleh pH tanah yang bernilai 7,7. Hal ini Sesuai dengan Literatur Hasibuan (2008) yang menyatakan bahwa tanah-tanah salin mempunyai pH tanah = 8,5 atau lebih rendah. Tanah-tanah sodik dapat memiliki pH tanah = 10, tetapi beberapa tanah ini dapat bereaksi netral, sedang yang lain bereaksi masam. Untuk membedakan tanah-tanah salin dan sodik dari jenis-jenis tanah yang lain. Dari hasil pengamatan lapangan dan uji laboratorium diketahui bahwa kedalaman pirit yang ada di Desa Percut Sei Tuan adalah pada kedalaman 20 cm dari permukaan tanah. Dapat disimpulkan bahwa hal ini adalah indikator bahwa tanah di Desa Percut Sei Tuan sangat banyak dilahan ini, ini dapat menjadi berbahaya bagi tanaman. Hal ini sesuai dengan literature Hasibuan (2008) yang menyatakan pirit adalah zat yang ditemukan di tanah pada daerah pasang surut saja. Zat ini dibentuk waktu lahan tergenang oleh air laut yang masuk pada musim kemarau. Pada saat kondisi basah/tergenang pirit tidak berbahaya bagi tanaman, akan tetapi bila terkena udara (teroksidasi) pirit berubah bentuk menjadi zat besi dan asam belerang yang dapat meracuni tanaman. Daya Hantar Listrik (DHL) sampel air sawah dari percobaaan diketahui sebesar 1,2. hal ini menandakan bahwa tanah di Desa Percut Sei Tuan belum mengalami kerusakan tersalinitas yang tinggi, karena DHL-nya belum mencapai kadar DHL yang biasanya dimiliki oleh suatu lahan salin. Hal ini sesuai dengan literatur Sipayung (2008) yang menyatakan bahwa tanah dikatakan salin bila memiliki pH < 8,5, dengan DHL > 4 mmhos/cm pada suhu 25o C.

C-Organik tanah sampel diketahui sebesar 2,13%, hal ini tidak terlalu buruk, dapat dikatakan kandungan C-Organik di lahan sawah Desa Sei Tuan masih tergolong baik, walaupun tidak mencapai normal yaitu : 5%. tapi dibandingkan dengan kriteria tanah salin yang memiliki C-Organik < 1%, tanah sawah Desa Sei Tuan tergolong baik. Hal ini sesuai dengan literatur Cahtanah (2009) yang menyatakan tanah salin ini mengandung C-Organik Sebesar <1%, ini sangat rendah dan tidak baik.
BD tanah sawah Desa Sei Tuan dari hasil uji laboratorium adalah 0,40. Hal ini juga menunjukkan porositas tanahnya, karena porositas tanah berbanding terbalik dengan BD tanahnya. Maka tanah sawah Desa Percut Sei Tuan memiliki pori-pori atau porositas yang tinggi karena BD-nya rendah. Semakin tinggi BD tanah maka porositasnya semakin rendah, dan sebaliknya semakin rendah BD tanah maka porositasnya akan semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan literatur Hasibuan (2008) yang menyatakan bahwa BD dari tanah mempengaruhi terhadap porosita tanah, yaitu apabila BD rendah porositasnya tinggi, dan apabila BD tinggi porositasnya rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN



Kesimpulan


1.Berdasarkan data yang diperoleh, tanah sawah bersifat salin karena meiliki pH 7.7.
2.Dari pengamatan visual diperoleh tanah sawah memiliki drainase buruk
3.Dari pengamatan visual diperoleh vegetasi dominan yaitu padi sawah
4.Berdasarkan hasil analisis di laboratorium tanah sawah di desa ini terintruisi garam air laut.
5.Dari data pengamatan diketahui DHL sebesar 4.76, Nadd sebesar 0.034 dan SAR sebesar 4.76 berpotensi menurunkan produksi tanaman.

Saran


Diharapkan praktikan lebih teliti dalam pengambilan sampel di lapangan agar kondisi tanah yang akan diamati sesuai kriteria yang diinginkan

DAFTAR PUSTAKA


AAK. 1997. Budidaya Padi Sawah. Penebar Swadaya, Jakarta.

Adhi, W., S. Ratmini dan I. W. Swastika.1997. pengelolaan Tanah dan Air di Lahan Pasang Surut. Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian, Jakarta.

Aplesnail. 2009. Opsi-Opsi Pengendalian Siput Murbei. http://www.Aplesnail.net. Diakses tanggal 14 Nopember 2009.

Cahtanah. 2009. Tentang Kimia Tanah. http://www.cahtanah.blogspot com. Diakses tanggal 14 Nopember 2009.

FAO. 2005. 20 Hal Penting Untuk Diketahui Pada Tanah Salin Aceh.

Hakim, N., M. Y. Nyakpa., A. M. Lubis., S. G. nugroho., M. A. Diha., G. B. Hong dan H. H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. UNILA, Lampung.

Hasibuan, B. E. 2008. Pengelolaan Tanah dan Air Lahan Marginal. USU Press, Medan.

Najiyati, s dan L. Muslihat. 2006. Mengenal Tipe Lahan Rawa Gambut. Wetsland International-Indonesia Programme, Bogor.

Noor, M. 2004. Lahan Rawa. Rajawali Press, Jakarta.

Notohadriprawiro, T. Sawah Dalam Tata Guna Lahan. UGM Press, Yogyakarta.

Nugroho, A. W. 2007. Karakteristik Tanah Pada Sebaran Ulin di Sumatera Dalam mendukung Konservasi. Medan.

Rahyu, T. 2008.Budidaya Tanaman Padi. BPP Teknologi dan MI-G, jakarta.

Ritung, S., Wahyunto., F. Agus dan H. Hidayat. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan. Baklai penelitian Tanah, Jakarta.

Sipayung, R. 2008. Stres Garam dan Mekanisme Toleransi Tanaman. USU Press, Medan.
Sofyan Ritung, Wahyunto
Suastika, I. W., N. Basaruddin dan T. Tumarlan. 1997. Budidaya Padi Sawah di Lahan Pasang Surut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Sumarsono., S. Anwar dan S. Budiyanto. 2005. Aplikasi Pupuk organ. Universitas Dipenegoro, Yogyakarta.

AGROEKOSISTEM

Manusia telah mengubah ekosistem alam secara luas sejak mulai mengenal pemukiman. Mereka membersihkan hutan dan lahan rumput untuk mengusahakan tanaman bahan makanan dan bahan makanan ternak untuk dirinya dan ternaknya melalui berbagai pengalaman. Mereka mengembangkan pertanian dengan membersihkan tanah, membajaknya, menanam tanaman musiman dan memberikan unsur-unsur yang diperlukan, seperti pupuk dan air. Setelah menghasilkan kemudian dipanen. Sejak menebar benih sampai panen tanaman pertanian sangat tergantung alam, gangguan iklim, hama dan penyakit.
Agroekosistem (ekosistem pertanian) ditandai oleh komunitas yang monospesifik dengan kumpulan beberapa gulma. Ekosistem pertanian sangat peka akan kekeringan, frost, hama/penyakit sedangkan pada ekosistem alam dengan komunitas yang kompleks dan banyak spesies mempunyai kemampuan untuk bertahan terhadap gangguan iklim dan makhluk perusak. Dalam agroekosistem, tanaman dipanen dan diambil dari lapangan untuk konsumsi manusia/ternak sehingga tanah pertanian selalu kehilangan garam-garam dan kandungan unsur-unsur antara lain N, P, K, dan lain-lain. Untuk memelihara agar keadaan produktivitas tetap tinggi kita menambah pupuk pada tanah pertanian itu. Secara fungsional agroekosistem dicirikan dengan tingginya lapis transfer enersi dan nutrisi terutama di grazing food chain dengan demikian hemeostasis kecil.
Kesederhanaan dalam struktur dan fungsi agroekosistem dan pemeliharaannya untuk mendapatkan hasil yang maksimum, maka menjadikannya mudah goyah dan peka akan tekanan lingkungan seperti kekeringan, frost, meledaknya hama dan penyakit dan sebagainya.
Peningkatan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat akhir-akhir ini dihasilkan satu tehnologi antara lain : mekanisasi, varietas baru, cara pengendalian pengganggu, pemupukan, irigasi dan perluasan tanah dengan membuka hutan dan padang rumput.
Semua aktivitas pertanian itu menyebabkan implikasi ekologi dalam ekosistem dan mempengaruhi struktur dan fungsi biosfere.
Peningkatan hasil tanaman dimungkinkan melalui cara-cara genetika tanaman dan pengelolaan lingkungan dengan menyertakan peningkatan masukan materi dan enersi dalam agroekosistem. Varietas baru suatu tanaman dikembangkan melalui program persilangan dan saat akan datang dapat diharapkan memperoleh varietas baru melalui rekayasa genetika yang makin baik.
Varietas baru mempunyai syarat-syarat kebutuhan lingkungan dan ini penting untuk diketahui ekologinya sebelum disebarkan ke masyarakat dengan skala luas.
Pengelolaan lingkungan menimbulkan beberapa persoalan pada erosi tanah, pergantian iklim, pola drainase dan pergantian dalam komponen biotik pada ekosistem.
Pada tahun 1977 State of World Environment Report (UNEP), memperingatkan abhwa, tanah yang dapat ditanami terbatas, hanya ± 11% permukaan bumi dapat diusahakan untuk pertanian. Secara total 1.240 juta ha untuk populasi 4.000 juta (rata-rata 0,31 ha/orang). Area ini pada tahun 2.000 akan tereduksi sampai hanya tinggal 940 juta ha dengan populasi penduduk dunia 6.250 juta.
Sehingga perbandingan lahan/orang tinggal 0,15 ha saja. Ini merupakan suatu peringatan dan memerlukan perhatian segera.
Sebab-sebab semakin kecilnya tanah yang dapat ditanami antara lain :
1. Pemotongan vegetasi/penggundulan sehingga tanah terbuka sehingga mudah tererosi air dan angin.
2. Mekanisasi pertanian dan penggunaan pupuk organik yang menggemburkan tanah dan membuatnya peka terhadap erosi.
3. Irigasi tanpa diimbangi dengan drainase yang mengakibatkan terbentuknya lapisan kedap air dan tanah menjadi kekurangan air. Lebih dari 300.000 ha tanah yang dapat ditanami dirugikan karena salinisasi dan kebanjiran setiap tahun.
4. Pengerjaan tanah yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan erosi.
5. Urbanisasi.
Hal yang disebutkan di atas merupakan situasi yang dibuat oleh manusia dan dia sendiri sebenarnya dapat mengendalikannya/mencegahnya melalui pengelolaan agroekosistem berdasarkan prinsip-prinsip ekologi. Studi ekologi ekosistem tanah pertanian disertai dengan pengetahuan autekologi tanaman dan gulma dengan dilengkapi watak pertumbuhannya dan sifat kompetitifnya. Hubungan tanaman-gulma pada tingkat intra dan antar spesies memerlukan informasi, yang berguna untuk praktek agronomi kita.
Hubungan tanah-tanaman merupakan aspek lain yang memerlukan data untuk pengelolaan subsistem tanah dalam maksud memulihkan tingkat kesuburan tanah yang maksimum. Pengetahuan pergantian komponen fisik, kimia dan biologi tanah pertanian di bawah pola tanam yang berbeda sangat penting untuk
pengelolaan ekosistem. Penggunaan pupuk, pestisida dan herbisida berpengaruh terhadap ekosistem.
N dengan skala luas berpengaruh terhadap lapisan Ozon di Stratosfer. Kebanyakan pestisida/herbisida merubah sifat fisik, kimia dan biologi subsistem tanah.
Beberapa bahan kimia mengalir ke kolam dan sungai dengan demikian mempengaruhi flora dan fauna ekosistem air tawar. Revolusi hijau dalam 1970 membawa pergantian pandangan pertanian kita. Siapnya tanah yang dapat diairi dan air pengairan menjadi tidak cukup dan sekarang hampir terjadi keduanya di daerah yang sama. Kesuburan jangka panjang tanah pertanian yang stabil (mantap) dibahayakan tidak hanya oleh pengetahuan yang sedikit tentang efek tekanan kimia, ekologi dan mekanisasi dalam intensifikasi tetapi juga tekanan populasi langsung antara lain overgrazing, penggundulan, penanaman di daerah dengan kemiringan yang berbahaya, urbanisasi tanah pertanian utama dan pengaruh sampingan langsung dan tidak langsung.
Laporan UNEP (1977) tentang gambaran keadaan lingkungan kurangnya makanan terutama protein sekarang terjadi dengan implikasi yang mencemaskan, dua hal yang kelaparan dan untuk kestabilan politik dunia. Situasi hari ini dengan pola distribusi penduduk seperti itu yaitu perkembangan kota dengan lebih banyak manusia dan kurang memproduksi makanan memaksa mereka impor bahan makanan dari negara terbelakang.

Struktur Agroekosistem
Struktur biotik
Kebanyakan tanaman merupakan tanaman semusim, baik anual maupun bianual. Tanaman dipelihara dengan populasi murni, biarpun beberapa gulma tumbuh bersama-sama tanaman.
Benih gulma, selalu ada di lapangan, tumbuh pada kondisi yang biarpun kadang-kadang kurang menguntungkan. Kebanyakan gulma, disebarkan dalam bentuk biji pada waktu penebaran dan juga melalui air irigasi dan binatang perantara. Tanaman dan gulma merupakan produsen dan konsumennya terutama herbivora, terdiri atas beberapa spesies serangga, burung dan ammalia kecil. Populasi dekomposer (pembusuk) kebanyakan bangsa fungi, bakteri dan nematoda dan sebagainya. Pengetahuan mengenai karakteristik fenologi dan fitososiologi (kepadatan, frekuensi dan pertumbuhan) ekosistem tanaman pada interval 15 hari akan menggambarkan dinamika hubungan tanaman dengan gulma - serangga - burung. Studi mengenai LAI, struktur khlorofil (jumlah khlorofil
terdistribusi pada daun, cabang dan batang) yang menyertai profil biomas dan pola penyimpanan enersi pada produsen primer memberikan informasi mengenai aktivitasnya.
Produsen primer
Untuk mengendalikan gulma terbaik antara lain adalah dengan mengatur daur hidup bersama dengan tanaman. Penelitian di lapangan menunjukkan bahwa ada indikasi bahwa gulma sangat bervariasi dari lapangan ke lapangan tergantung tipe tanaman dan musim pertumbuhan. Sifat fisik dan kimia tanah, faktor iklim mikro di dekat permukaan tanah, dominasi benih gulma memungkinkan adanya variasi kualitatif dan kuantitatif dalam flora gulma di lapangan pertanian.
Gulma berkompetisi dengan tanaman pokok untuk faktor pertumbuhannya dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil. Biomas merupakan yang baik untuk struktur komunitas. Tidak seperti komunitas alam, biomas tanaman tetap bertambah dari permulaan, stadium pertumbuhan vegetatif sampai panen.
Nilai biomas tanaman yang diperoleh waktu panen memperlihatkan variasi yang lebar di antara tanaman yang berbeda di pertanaman monokultur. Kecuali ubi-ubian, perbandingan yang lebih besar penimbunan bahan kering terjadi di batang. Akar menempati proporsi yang kecil dari keseluruhan biomas (15-20%). Dengan demikian perbandingan akar dan batang kecil (0,1-0,3) di tanaman pertanian.
Perbandingan itu bervariasi antara 0,8 - 3,1 di padang rumput yang didominasi oleh rumput tahunan dan legum memperlihatkan akumulasi biomas bagian dalam tanah lebih besar.
Luas daun tanaman merupakan pengukuran terbaik untuk besarnya fotosyntesis dan pengukuran luas daun yang lebih praktis untuk lapangan pertanian dengan hasil ditunjukkan per unit luas lahan, ialah luas daun per unit luas lahan (LAI). Kominitas tanaman pertanian mempunyai nilai rata-rata antara 6 - 13 (hutan) dan 3 - 15 (rumput-rumputan). Dalam tanaman semusim LAI terus naik dengan bertambahnya umur dan menuju puncak pada pembungaan yang kemudian turun. Komunitas alam tidak seperti itu.
Pada serealia LAI tidak menghitung asimilasi total yang terdapat di batang dan bulir yang memiliki khlorofil memperlihatkan secara nyata efisiensi fotosintetik tanaman. LAI ada korelasi positif dengan produktivitas dalam beberapa contoh produksi maksimum diperoleh bila LAI di sekitar 4.
Perhitungan lebih jauh dalam LAI tidak membawa efek positif pada produksi bersih karena harus mengimbangi kehilangan respirasi. Sudut daun dan posisinya berinteraksi dengan LAI dalam peranan penetrasi cahaya ke dalam
kanopi. Daun yang tegak dengan sudut yang kecil/tajam semacam rumput-rumputan menyebabkan distribusi cahaya yang lebih efisien dalam kanopi daripada yang horizontal.
Pola daun yang spesifik menentukan produksi komunitas tanaman pertanian. Dari beberapa penelitian memperlihatkan bahwa arah barisan (Utara, Selatan, Barat, Timur) dapat memberikan pengaruh pada hasil hubungannya dengan penetrasi cahaya
Khlorofil di tanaman hijau menangkap energi cahaya untuk proses fotosintesis. Kandungan khlorofil ada hubungannya dengan produksi bahan kering, dan digunakan sebagai suatu indeks produksi potensial produksi populasi tanaman/komunitas.
Konsumen
Karena produsen yang homogen maka hanya beberapa binatang yang sesuai saja mengambil bagian dari ekosistem tersebut. Rantai makanan sangat sederhana dengan 2 - 3 tingkatan trofik. Lebih-lebih dengan beberapa aktivitas pengolahan tanah, irigasi, penyiangan dan sebagainya yang mempengaruhi binatang dalam tanah dan kadang-kadang hal ini pengaruhnya sangat tegas sehingga tercipta kondisi baru. Komunitas tanaman hanya dapat dijadikan tempat tinggal binatang kecil yang hanya datang secara temporer.
Pengurai
Karena praktek-praktek pemeliharaan antara lain pemupukan, penggunaan pestisida serta kecilnya kandungan bahan organik maka mempersempit aktivitas dekomposer/pengurai dalam ekosistem pertanian.
Abiotik
Praktek bercocok tanam yang berbeda dapat menyebabkan komposisi fisik dan kimiawi tanah yang berbeda. Pemupukan kimia, irigasi dan pola drainase menyebabkan perbedaan kualitas tanah.
Untuk mengevaluasi struktur abiotik agroekosistem kita dapat mengestimasi jumlah nutrien (N, P, K, dan sebagainya) yang ada dalam biomas dan tanah pada setiap waktu dengan demikian dapat untuk mempertimbangkan pemupukan dan irigasi yang tepat.
Cahaya matahari yang masuk ke kanopi tanaman digunakan dalam proses fotosintesis yang menghasilkan kekuatan dalam produktivitas organik. Penelitian dari beberapa disiplin menghasilkan suatu kesimpulan bahwa sekarang ada 3 mekanisme fotosintesis ialah siklus Kelvin, C4 - asam dekarboksilat dan metabolisme asam grasulacean. Sejumlah tanaman penting (jagung, gula,
shorgum dan sebagainya) mempunyai jalur C4. Produktivitas bersih tanaman C4 lebih tinggi dari tanaman siklus Kelvin. Tanaman selama puncak musim pertumbuhan mengkonversi 6 - 8% total enersi sinar matahari ke bahan organik dalam produksi kotor. Produksi bersih rata-rata ½ produksi kotor itupun hanya 50% yang dapat untuk heterotrop (hewan dan manusia).
Tanah pertanian merupakan ekosistem tersubsidi yang diperlukan untuk membuat kondisi optimum yang diinginkan dengan tujuan efisiensi produsen pada tingkat batas maksimum. Subsidi itu tentu saja sangat diperlukan, lebih-lebih dengan waktu singkat harus menghasilkan, seperti pada kebanyakan tanaman semusim antara 60 - 90 hari saja subsistem produsen mencapai kemasakan dan efisiensi fotosintesis menurun karena umur.
Setelah panen kira-kira 85 - 905 enersi terakumulasi dalam bagian atas tanah yang kemudian masuk ke grazing food chain yang sederhana terutama meliputi manusia dan ternak.
Menurut Singh (1974) pada padi produksi bersih 5 - 60% berbentuk jerami dan biji. Dalam agrosistem daerah sedang (temperate) lebih 50% enersi yang dipanen, digunakan sebagai makanan ternak untuk produksi daging dan susu (protein).
Di daerah tropika sebagian besar populasi manusia hidup dengan tingkat enersi rendah sedang di daerah temperate, tinggi. Enersi yang masuk ke detritus food chain ± 10 - 15% dari produksi bersih.
Jerami dan daun jatuh ke tanah dan akar-akar merupakan sumber masukan enersi kimia ke dalam subsistem tanah. Jumlah ini umumnya tidak mencukupi untuk memelihara kesuburan tanah pada taraf optimum. Enersi yang masuk ke dalam “detritus food chain” belum banyak diketahui sampai saat ini.
Daur nutrisi/bahan
Dalam ekosistem terestrial sumber/mineral dari tanah, secara alami status nutrisi dipelihara oleh adanya proses daun Biogeokimia.
Di dalam agroekosistem sebagian besar nutrisi terikut sebagai hasil panen dan tidak kembali lagi secara alami sehingga diperlukan pemupukan. Karena itu daur yang biasa terjadi terputus/asiklik.
Faktor-faktor
Semua yang berpengaruh terhadap struktur dan fungsi ekosistem berpengaruh pula di sini. Kecuali itu ada faktor lain yang berpengaruh antara lain :
1. Kompetisi (intra/antar spesifik)

2. Pengelolaannya antara lain :
- pembajakan
- pergiliran tanaman
- rotasi pengelolaan
- pembakaran
- pemupukan
- irigasi
- penendalian hama/penyakit
- varietas baru
Dari sekian banyak pengelolaan itu sebagian besar telah dibicarakan pada disiplin ilmu lain seperti ilmu bercocok tanam, pengendalian pengganggu dan lain-lain. Untuk tidak mengalami duplikasi maka di sini hanya akan dibicarakan mengenai pengendalian hama/penyakit dipandang dari segi ekologi
Pengendalian pengganggu
Apa yang dibicarakan di sini lebih bersifat konsep, sedangkan teori-teori yang lebih mendalam juga praktek-praktek pengendaliannya sudah dibicarakan didisiplin ilmu hama, ilmu penyakit dan ilmu gulma.
Di dunia binatang dan tumbuhan dikenal adanya strategi hidup, yaitu strategi r (pada suatu ekstrem) dan strategi K (pada ekstrem yang lain).
r - diambil dari rumus pertumbuhan populasi
K - diambil dari asimtot atas kurve sigmoid
Ciri-ciri masing-masing adalah sebagai berikut :
- Strategi r : Jenis-jenis kehidupan yang hidupnya opportunis, jadi bersifat :
- Menempati habitatnya hanya secara tradisional
- Mobilitasnya tinggi
- Ukuran tubuhnya kecil, sehingga perlu enersi yang besar. Karena hal-hal di atas,
maka tidak mempunyai mekanisme pertahanan dan kompetisi. Dengan demikian dapatlah dinyatakan hide dan seek.

- Memanfaatkan habitat secara cepat
- Adanya reproduksinya besar. Sebagai contoh : lalat, nyamuk.
- Strategi K : yaitu jenis-jenis kehidupan yang menjaga habitat sedemikian rupa agar
tidak rusak,oleh karena itu populasinya selalu di bawah daya dukung habitatnya.
Dengan demikian :
- Menyesuaikan diri dengan habitat
- Mempunyai mekanisme adaptasi, kompetisi dan pertahanan
Sehubungan dengan strategi hidup kehidupan di atas maka makhluk pengganggu tidak terlepas dari sifat itu. Seorang pemilik perkebunan kopi dan coklat di Afrika yaitu CONWAY (1977) berdasarkan pengalamannya menemukan bahwa setiap cara pengendalian hanya cocok untuk pengganggu dengan strategi hidup tertentu saja.
Oleh karena itulah metode pengendalian dengan penggunaan pestisida sangat disukai tetapi justru inilah yang sangat dirasakan kemudian merusak keseimbangan lingkungan dengan menimbulkan beberapa akibat menurunkannya kualitas lingkungan dalam jangka panjang. Berdasarkan pemikiran dan kenyataan di atas maka kemudian dikembang-kan konsep pengendalian dengan menggunakan semua metode yang mungkin dan penggunaan pestisida sebagai alternatif terakhir.
Penggunaan pestisida dapat dihindari karena :
1. Efektifnya pengendalian alami.
2. Hama/penyakit/gulma belum merugikan secara ekonomis.
3. Pestisida tidak efektif.
4. Tanaman dapat mengadakan kompensasi terhadap kerusakan.

DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Samlawi, 1997. Etika Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Badan Pusat Statistik, 2006. Statistik Indonesia - 2005. BPS Jakarta - Indonesia.

Balla, T.P., 2005. Pertukaran Energi, Materi dan Informasi Antara Sistem Sosial dengan Sistem Lingkungan pada Komunitas Petani Padi (Studi kasus pada petani padi di Lembang Kaero, Kecamatan Sangalla, Kabupaten Tana Toraja). Tesis tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

Bennett, John, 1996. Human Ecology as Human Behavior: Essay on Enviromental and Development Anthropology. New Brunswick and London, Transaction Published.

Beratha, I Nyoman, 1991. Pembangunan Desa Berwawasan Lingkungan. Bumi Aksara, Jakarta.

Capra, Pritjof. 1999. Titik Balik Peradaban. Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta.

---------------- , 2002. Jaring-Jaring Kehidupan. Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta.

Clapham, W.B, Jr., 1976. An Approach to Quantifying the Exploitability of Human Ecosystems. Human Ecology Volume 4 Nomor 1. Singapore Journal of Tropical Geography, Volume 3, Nomor 1, East-West Centre, Honolulu.

Moh. Soerjani, Rofiq Ahmad, dan Rozy Munir, 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Universitas-Indonesia, Jakarta.

Respon pertumbuhan dan produksi tanaman kangkung darat (Ipomoea reptans Poir.) terhadap pemberian pupuk NPK.

PENDAHULUAN

Latar Belakang


Kangkung termasuk sayuran yang populer dan digemari masyarakat Indonesia. Tanaman kangkung berasal dari India sekitar 500 SM, yang kemudian menyebar ke Malaysia, Birma, Indonesia, Cina Selatan, Australia dan Afrika. Nama latin kangkung adalah Ipomoea reptans. Di Cina, sayuran ini dikenal dengan nama Weng Cai, sedangkan di Eropa kangkung disebut Swamp Cabbage. Di Indonesia kangkung memiliki beberapa nama daerah, yaitu Kangkueng (Sumatera), Kangko (Sulawesi) dan Utangko (Maluku) (Azmi, 2007).
Kangkung bergizi tinggi dan lengkap dengan kandungan yang ada pada kangkung seperti kalori, protein, lemak, karbohidrat, serat, kalsium, posfor, zat besi, natrium, kalium, vitamin A, vitamin B, vitamin C, karoten, hentriakontan, dan sitosterol. Senyawa kimia yang dikandung adalah saponin, flavonoid, dan poliferol (Mangoting dkk, 1999).
Kangkung merupakan tanaman yang bermanfaat. Kangkung mempunyai senyawa yang dapat digunakan untuk pengobatan bagi penderita susah tidur. Serat pada kangkung sangat baik untuk mencegah konstipasi sehingga dapat menghalangi terjadinya kanker perut. Karetenoid dalam tubuh akan diubah menjadi vitamin A serta klorofil tinggi. Kedua senyawa ini berperan sebagai antioksidan yang berguna untuk mencegah penuaan dan menghalangi mutasi genetik penyebab kanker (Wirakusumah, 1998).
Produksi tanaman kangkung di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami variasi. Pada tahun 1985 terdapat luas areal pertanaman kangkung nasional 41.953 hektar. Namun tahun-tahun berikutnya cenderung menurun, yaitu hanya 32.448 ha (1988) dan 20.578 ha (1990). Hasil rata-rata kangkung nasional masih rendah, yaitu baru mencapai 2,389 ton/hektar (1985), 4,616 ton/hektar (1988), dan 7,660 ton/ha (1990) (Rukmana, 1994).
Pupuk NPK merupakan pupuk campuran dari nitrogen, phosfor, dan kalium. Pupuk N berfungsi untuk menaikkan produksi tanaman, kadar protein, dan slulosa, tetapi serin menurunkan kadar sukrosa, poli fruktosa dan pati. Kadar P dinyatakan dalam bentuk P2O5 yang jumlahnya lebih sedikit daripada nitrogen dan kalium. Fungsi mendorong pertumbuhan akar tanaman. Kadar pupuk K dinyatakan sebagai % K2O. Kalium berfungsi untuk mengatur pergerakan stomata (Rosmarkam dan Nasih, 2003).
Sumber unsur N sebenarnya cukup banyak terdapat di atmosfer, yaitu + 79,2 % dalam bentuk N2 bebas, namun demikian unsur N ini baru dapat digunakan oleh tanaman setelah mengalami perubahan bentuk yang terikat yang kemudian dalam bentuk pupuk. Sumber utama dari nitrogen berasal dari N2 yang terikat. Untuk pembuatan pupuk adalah nitrogen dalam bentuk amoniak (Hasibuan, 2008).
Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah respon pertumbuhan dan produksi tanaman kangkung darat (Ipomoea reptans Poir.) terhadap pemberian pupuk NPK.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Menurut buku yang ditulis oleh Steenis (1978), klasifikasi tanaman kangkung adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Convolvulales
Famili : Convolvulacae
Genus : Ipomoea
Spesies : Ipomoea reptans Poir.
Kangkung merupakan tanaman menetap yang dapat tumbuh lebih dari satu tahun. Tanaman kangkung memiliki sistem perakaran tunggang dan cabang-cabangnya akar menyebar kesemua arah, dapat menembus tanah sampai kedalaman 60 hingga 100 cm, dan melebar secara mendatar pada radius 150 cm atau lebih, terutama pada jenis kangkung air (Rukmana, 1994).
Batang kangkung bulat dan berlubang, berbuku-buku, banyak mengandung air (herbacious) dari buku-bukunya mudah sekali keluar akar. Memiliki percabangan yang banyak dan setelah tumbuh lama batangnya akan merayap (menjalar) (Mortensen dan Bullard, 1970).
Kangkung memiliki tangkai daun melekat pada buku-buku batang dan di ketiak daunnya terdapat mata tunas yang dapat tumbuh menjadi percabangan baru. Bentuk daun umumnya runcing ataupun tumpul, permukaan daun sebelah atas berwarna hijau tua, dan permukaan daun bagian bawah berwarna hijau muda (Mangoting dkk, 1999).
Selama fase pertumbuhanya tanaman kangkunga dapat berbunga, berbuah, dan berbiji terutama jenis kangkung darat. Bentuk bunga kangkung umumnya berbentuk “terompet” dan daun mahkota bunga berwarna putih atau merah lembayung (Azmi, 2007).
Buah kangkung berbentuk bulat telur yang didalamnya berisi tiga butir biji. Bentuk buah kangkung seperti melekat dengan bijinya. Warna buah hitam jika sudah tua dan hijau ketika muda. Buah kangkung berukuran kecil sekitar 10 mm, dan umur buah kangkung tidak lama (Nazaruddin, 1994).
Bentuk biji kangkung bersegi-segi atau tegak bulat. Berwarna cokelat atau kehitam-hitaman, dan termasuk biji berkeping dua. Pada jenis kangkung darat biji kangkung berfungsi sebagai alat perbanyakan tanaman secara generatif (Wirakusumah, 1998).
Syarat Tumbuh
Iklim
Kangkung mempunyai daya adaptasi cukup luas terhadap kondisi iklim tropis dan dapat ditanam di berbagai daerah atau wilayah di Indonesia. Kangkung dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai dataran tinggi (pegunungan) + 2000 mdpl, dan diutamakan lokasi lahanya terbagi atau sinar matahari yang cukup (Rukmana, 1994).
Kebutuhan sinar matahari untuk tanaman kangkung adalah 400-800 footcandles yang akan mempengaruhi pertumbuhan optimum. Oleh karena itu, kangkung dapat tumbuh pada lahan terbuka tetapi tidak terlalu panas (Bandini dan Azis, 2001).
Untuk pertumbuhan kangkung diperlukan iklim yang toleran. Pertumbuhan kangkung biasanya optimal bola dipengaruhi oleh suhu daerah setempat. Suhu yang dibutuhkan tanaman kangkung yaitu rata-rata 20-300 C dengan kelembaban daerah (RH) dibawah 60 % (Nazaruddin, 2000).

Tanah

Kangkung darat menghendaki tanah yang subur, gembur, banyak mengandung bahan organik, dan tidak mudah menggenang (becek). Pada tanah yang becek, akar-akar tanaman dan batang kangkung darat akan mudah membusuk atau mati (Rukmana, 1994).
Kangkung dapat tumbuh dan berproduksi baik di dataran rendah sampai dataran tinggi (pegunungan). Tanaman kangkung cocok ditanam pada tanah bertekstur liat berpasir dengan struktur tanah yang agak remah. Selain itu, tanaman kangkung membutuhkan tanah datar bagi pertumbuhanya, sebab tanah yang memiliki kelerengan tinggi tidak dapat mempertahankan kandungan air secara baik ( Azmi, 2007).
Kisaran derajat keasaman (pH) tanah yang baik untuk tanaman kangkung adalah pada kisaran pH netral yakni 6-7. Jika pada tanah asam kangkung sukar tumbuh maka diperlukan penambahan kapur untuk menetralkanya (Nazaruddin, 2000).
Pupuk NPK
Zat-zat yang sangat diperlukan tanaman dan seringkali kurang cukup terdapat di dalam tanah, terutama Nitrogen (N), Phosfor (P), dan Kalium (K). Apabila unsur tersebut dapat terpenuhi, maka pertumbuhan tanaman akan menjadi normal dan baik. Sebaliknya, apabila kekurangan atau kelebihan akan menunjukkan gejala-gejala kekurangwajaran atau abormal (Rosmarkam dan Nasih, 2003).
Nitrogen diserap tanaman dalam bentuk ion nitrat (NO-3) dan ion amonium (NH4+). Nitrogen tidak tersedia dalam bentuk mineral alami seperti unsur hara lainya. Terdapat didalam protein dalam bentuk tanaman yang berguna untuk pertumbuhan pucuk daun. Pupuk N juga menyuburkan bagian-bagian vegetatif tumbuhnya batang dan daun. Oleh karena itu, pupuk ini diberikan pada awal masa pertumbuhan dan diberikan pada sayuran daun sebab dengan pupuk N daunya lekas tumbuh besar dan berwarna hijau tua. Sumber N dari udara tidak semua tanaman dapat menghisapnya dari udara begitu saja. Tetapi dengan adanya bentuk bantuan bakteri tanah, maka zat N dapa dihisap oleh tanaman (Hasibuan, 2006).
Phosfor berperan penting didalam transfer energi didalam sel tanaman, misalnya ADP, ATP, berperan dalam pembentukan membran sel, sangat diperlukan untuk pembiakan generatif yakni pembentukan bunga serta bagian-bagianya. Selanjutnya menjadi buah dan bijinya, mendorong dan mningkatkan pembentukan buah, serta perangsang akar dapat memanjang dan kuat. Kadar zat P dalam pupuk dinyatakan dalam % P2O5 (Sutanto, 2004).
Kalium diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K+. Tanah mengandung 400-500 kg kalium untuk setiap 93 m2. Kalium pada tanaman berperan sebagai efisiensi penggunaan air, untuk pertumbuhan zat tepung di dalam tanaman, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit, daun buah dan buah tidak mudah lepas dari tangkainya, lebih tahan terhadap penyakit dan memperluas pertumbuhan akar (Hasibuan, 2008).
Gejala-gejala akibat kekurangan salah satu unsur hara pada tanaman disebut sebagai istilah defisiensi. Kekurangan unsur N pada tanaman mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang kerdil dan daun akan mengalami gejala klorosis. Pada unsur P jika tanaman mengandung sedikit sekali unsur P maka pemasakan buah terhambat. Kekurangan unsur K berakibat pada daun-daun yang paling bawah berwarna kuning, dan tanaman rentan terhadap penyakit (Moternsen and Bullard, 1970).




DAFTAR PUSTAKA
Allard. R.W., 1992. Pemuliaan Tanaman, Terjemahan Manna. Rineka Cipta, Jakarta.

Anonim., 1960. Principles of Plants Breeding. University of California, USA.

Ashari. S., 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI-Press, Jakarta.

Decoteau., 2000. Vegetable Crops. Prentice Hill, USA.

Hadie. W., Subandriyo., L.H. Emmawati., dan R.N. Rachman., 2008. Analisis Kemampuam Daya Gabung Pada Genotipe Udang Galah Untuk Mendukung Program Seleksi Dan Hibridisasi. Diakses dari Http://www.dkp.go.id Pada Tanggal 21/04/2008.

Hartmann. H.T and D.E. Kester., 1985. Plant Propogation Principles and Practices. Prentice Hall.INC, New Jersy.

Hasym. H., 2008. Pemuliaan Tanaman. USU-Press, Medan.

Hayes. H.K., F.R. Immer., and D.C. Smith., 1955. Methods of Plant Breeding. Mc Graw-Hill Book company. Inc, New York.

Iriany. R.N., A.M. Takdir., Muzdalifah., M. Marsum., Dahlan., dan Subandi., 2008. Evolusi Daya Gabung Karakter Ketahanan Tanaman Jagung Terhadap Penyakit Bulai Melalui Persilangan Diallel. Di Kutip dari http://202.155.106/download.php, pada tanggal 24/04/2008.

Magnisjah dan Setiawan., 1991. Jagung Hibrida. Rineka Cipta, Jakarta.

Mangoendidjojo. W., 2003. Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Kanisius, Yogyakarta.

Nurmala. T.S.W., 1998. Serealia Sumber Karbohidrat Utama. Rineka Cipta, Jakarta.

Redaksi Agromedia., 2007. Budidaya Jagung Hibrida. Agromedi, Jakarta.
Rubatzky. V dan M. Yamaguchi., 1998. Sayuran Dunia I, Terjemahan Ir. Catur Horison,MSc. ITB, Bandung.

Splittstoesser. W.E., 1984. Vegetable Growing Handbook, Second Edition. Van Nostrand Reinhold Company, New York.

Thompson. H.C and W.C. Kelly., 1957. vegetable Crops. MC Graw-Hill Book Company, New York.

Walden. D.B., 1987. Maize Breeding and Genetics. A Willey-Interscience Publication, New York.

Welsh. J.R., 1981. Fundamentals of Plant Genetics an Breeding. John-Willey & Sons, New York.

__________., 1991. Dasar-Dasar Genetika Dan Pemuliaan Tanaman, Penerjemah Johanes P Mogea. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Widodo, L., 2003. Penggunaan Marka Molekuler Pada Seleksi Tanaman. di Kutip dari http://Tumotou.ned/imam-widodo,htm pada tanggal 17/04/2008.

Williams. C.N., J.O. Uzo., and W.T.H. Pergerine., 1993. Produksi Sayuran di Daerah Tropika, Penerjemah Soedharoedjian.R. UGM-Press, Yogyakarta.

Wirawan. B., dan S. Wahyuni., 2002. Memproduksi Benih Bersertifikat. Penebar Swadaya, Jakarta.

www.damandiri.or.id., 2008. Daya Gabung, di Akses Tanggal 24/04/2008.

www.deptan.go.id., 2008. Varietas, di Akses Tanggal 24/04/2008.

www.sumutprov.go.id., 2008. Hasil Pertanian Sumut, di Akses Tanggal 24/04/2008.

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN BAYAM (Amaranthus sp.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK NPK

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bayam merupakan sayuran yang telah lama dikenal dan dibudidayakan secara luas oleh petani di seluruh wilayah Indonesia, bahkan di negara lain. Penyebaran tanaman bayam di Indonesia telah meluas ke seluruh wilayah, tetapi sampai saat ini pulau Jawa merupakan sentra produksinya. Hampir semua orang mengenal dan menyukai kelezatan bayam. Rasanya enak, lunak, dapat memberikan rasa dingin dalam perut dan dapat memperlancar pecernaan. Umumnya tanaman bayam dikonsumsi bagian daun dan batangnya (Bandini dan Azis,2001).
Bayam (Amaranthus sp.) berasal dari Amerika tropik. Oleh karenanya, penyebaran tanaman ini banyak di daerah-daerah beriklim tropik, termasuk Indonesia. Walaupun demikian, sayuran ini juga menyebar ke daerah beriklim sedang. Tanaman bayam mempunyai atau sumber zat besi. Namun, sayuran ini juga banyak mengandung vitamin A dan mineral lain, yaitu kalsium (Ca). Jumlah kalori yang dikandungnya adalah 36 kalori per 100 g bahan (Novary,1997).
Bayam mempunyai kandungan karetenoid yang tinggi. Zat ini dapat bertindak sebagai pencegah kanker. Selain itu, bayam juga kaya akan klorofil yang mempunyai kekuatan menghalangi mutasi sel yang merupakanlangkah pertama pembentukan kanker. Bayam membuktikan bahwa juice bayam paling berpotensi sebagai pencegah kanker. Dengan mengkonsumsi setengah cangkir bayam sehari akan mengurangi resiko terkena kanker,terutama kanker paru-paru (Wirakusumah,1998).
Sayuran bayam memang khas di daerah tropis. Pertumbuhannya secara normal amat cepat. Dalam waktu kurang dari satu bulan bayam sudah bisa dipanen. Bayam diperbanyak melalui biji. Hanya biji bayam yang tua yang baik dijadikan benih. Bila benih masih muda, daya tahan simpannya hanya sebentar dan daya tumbuhnya cepat menurun. Benih yang berasal dari tanaman yang berumur sekitar tiga bulan daya simpannya dapat mencapai satu tahun. Benih diperoleh dengan membiarkan keberapa batang tanaman hingga berbunga dan berbuah. Buah dijemur hingga kering lantas dirontokkan. Kebutuhan benih bayam per 10 m2 adalah 2 – 5 gram (Nazaruddin, 2000).
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui respons pertumbuhan dan produksi tanaman bayam (Amaranthus sp.) terhadap pemberian pupuk NPK.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Menurut Van Steenis (1978), mengklasifikasikan tanaman bayam (Amaranthus sp.) sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Amaranthales
Family : Amaranthaceae
Genus : Amaranthus
Spesies : Amaranthus sp.
Bentuk tanaman bayam adalah terna (perdu), tinggi tanaman dapat mencapai 1,5 – 2 m, berumur semusim atau lebih. Sistem perakaran menyebar dangkal pada kedalaman antara 20 - 40 cm dan berakar tunggang (Bandini dan Aziz, 2001).
Batang tumbuh tegak, tebal, berdaging dan banyak mengandung air, tumbuh tinggi diatas permukaan tanah. Bayam tahunan mempunyai batang yang keras berkayu dan bercabang banyak. Bayam kadang-kadang berkayu dan bercabang banyak (Van Steenis, 1978).
Daun berbentuk bulat telur dengan ujung agak meruncing dan urat-urat daun yang jelas. Warna daun bervariasi, mulai dari hijau muda, hijau tua, hijau keputih-putihan, sampai berwarna merah. Daun bayam liar umumnya kasap (kasar) dan kadang berduri (Azmi, 2007).
Bunga bayam berukuran kecil, berjumlah banyak terdiri dari daun bunga 4 – 5 buah, benang sari 1 – 5, dan bakal buah 2 – 3 buah. Bunga keluar dari ujung-ujung tanaman atau ketiak daun yang tersusun seperti malai yang tumbuh tegak. Tanaman dapat berbunga sepanjang musim. Perkawinannya bersifat unisexual yaitu dapat menyerbuk sendiri maupun menyerbuk silang. Penyerbukan berlangsung dengan bantuan angina dan serangga (Nazaruddin, 2000).
Biji berukuran sangat kecil dan halus, berbentuk bulat, dan berwarna coklat tua sampai m mengkilap sampai hitam Kelam. Namun ada beberapa jenis bayam yang mempunyai warna biji putih sampai merah, misalnya bayam maksi yang bijinya merah. Setiap tanaman dapat menghasilkan biji kira-kira 1200 – 3000 biji/gram (Wirakusumah, 1998).
Syarat Tumbuh
Iklim
Faktor-faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman antara lain ketinggian tempat, sinar matahari, suhu, dan kelembaban. Bayam banyak ditanam di dataran rendah hingga menengah, terutama pada ketinggian antara 5 – 2000 m dpl. Kebutuhan sinar matahari untuk tanaman adalah tinggi, berkisar antara 400 – 800 foot candles yang akan mempengaruhi pertumbuhan optimum dengan suhu rata-rata 20˚C - 30˚C, curah hujan antara 1000 – 2000 mm, dan kelembaban diatas 60%. Drainase tanah harus sudah diperhatikan meskipun tanaman bayam tahan terhadap air hujan. Untuk itu, bedengan dibuat lebih tinggi disbanding dengan penanaman saat musim kemarau, yaitu setinggi ± 35 cm. Sebaliknya pada musim kemarau, penyiraman harus dilakukan secara teratur (Bandini dan Azis, 2001).
Tanaman bayam dapat tumbuh kapan saja baik pada waktu musim hujan ataupun kemarau. Tanaman ini kebutuhan airnya cukup banyak sehingga paling tepat ditanam pada awal musim hujan, yaitu sekitar bulan Oktober – November. Bisa juga ditanam pada awal musim kemarau, sekita bulan Maret – April (Nazaruddin, 2000).
Tanah
Bayam sebaiknya ditanam pada tanah yang gembur dan cukup subur. Apalagi untuk bayam cabut, tekstur tanah yang berat akan menyulitkan produksi dan panennya. Tanah netral ber-pH antara 6 – 7 paling disukai bayam untuk pertumbuhan optimalnya (Nazaruddin, 2000).
Tanah yang subur dan bertekstur gembur serta banyak mengandung bahan organik paling disukai tanaman bayam. Pada tanah yang tandus dan liat, bayam masih dapat tumbuh dengan baik jika dilakukan penambahan bahan organik yang cukup banyak. Pada tanah yang ber-pH dibawah kisaran 6-7, tanaman bayam sukar tumbuh. Tanaman akan menunjukkan pertumbuhan yang merana bila pH tanah dibawah 6. Begitu pula pada pH diatas 7, tanaman akan mengalami gejaja klorosis (warna daun menjadi putih kekuning-kuningan terutama pada daun-daun yang masih muda). Jenis bayam tertentu masih dapat tumbuh pada tanah-tanah alkalin (basa). Tanaman bayam tidak memilih jenis tanah tertentu (Murtensen and Bullard, 1970).
Pupuk NPK
Pupuk Nitrogen (N0 diserap tanaman dalam bentuk ion nitrat (NO3-) dan ion ammonium (NH4+). Nitrogen tidak tersedia dalam bentuk mineral alami seperti unsur hara lainnya. Jika terjadi kekurangan (defisiensi) nitrogen, tanaman tumbuh lambat dan kerdil. Daunnya berwarna hijau muda. Nitrogen juga dibutuhkan untuk senyawa penting seperti klorofil, asam nukleat, dan enzim. Karena itu nitrogen dibutuhkan dalam jumlah besar pada setiap tahap pertumbuhan tanaman, khususnya pembentukan tunas atau perkembangan batang dan daun. Tanpa suplai nitrogen cukup, pertumbuhan tanaman baik tidak akan terjadi. Kekurangan unsur hara N akan menunjukkan gejala pada tanaman seperti pertumbuhan yang kerdil, pertumbuhan akar terbatas, daun menjadi warna kuning pucat. Kuningnya warna daun dimulai dari daun tua baru kemudian pada daun muda (Hasibuan, 2006).
Kadar P dalam pupuk dinyatakan dalam P2O5. Unsur P diserap tanaman dalam bentuk H2PO4- atau HPO42-. Penyerapan pupuk ini oleh tanaman memerlukan waktu cukup lama seperti pupuk alam yang lain. Posfor berperan penting dalam transfer energi di dalam sel tanaman, misalnya ADD, ATP, beperan dalam pembentukan membran sel terutama terhadap stabilitas struktur dan informasi makromolekul. Bila tanaman kekurangan hara P, maka berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, seperti pertumbuhan yang kerdil, hal ini terjadi karena pembelahan sel terganggu. Warna daun berubah menjadi ungu atau coklat mulai dari ujung-ujung daun. Hal yang semacam ini jelas terlihat pada tanaman yang masih muda (Rosmarkam & Yuwono, 2002).
Kalium diserap oleh tanaman dalam bentuk K+. Tanah mengandung 400 – 500 kg kalium untuk setiap 93 m2. Kalium berperan dalam efisiensi penggunaan air, meningkat ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit, memperbaiki ukuran dan kualitas buah pada masa generatif, menambah rasa manis pada buah, memperluas pertumbuhan akar. Gejala kekurangan kalium adalah daun mulai kelihatan lebih tua, batang dan cabang lemah dan mulai rebah, biji buah kusut dan muncul warna kuning di pinggir dan di ujung yang sudah mengering dan rontok. Unsur hara K di dalam tubuh tanaman bersifat agak mobil, sehingga gejala kekurangannya lebih cepat terlihat pada daun-daun tua, karena K pada daun tua disedot ke daun-daun muda. Karena salah satu fungsi K dalam pembentukan pati dan sebagai transportasi karbohidrat hasil fotosintesis, maka bila tanaman kekurangan K daun akan bercak-bercak coklat seperti terbakar. Warna coklat bermula dari pinggir daun dan menuju tulang-tulang daun (Hasibuan, 2008).
Pupuk diberikan setelah penanaman. Pupuk yang diberikan terdiri dari pupuk N sebanyak 100 – 200 kg/ha. Berikan pupuk 1 kali pada dua minggu pertama setelah tanam. Contoh dari pupuk NPK adalah NPK Mutiara dengan kandungan N = 16%, P = 16%, dan K = 16% dan berwarna ungu (Azmi, 2007).
Dengan menggunakan unsur hara yang ada pada pupuk, tanaman dapat memenuhi siklus hidupnya. Fungsi hara tanaman tidak dapat digantikan dengan unsur hara lainnya dan apabila tidak terdapat suatu hara tanaman, maka kegiatan metabolisme akan terganggu atau terhenti sama sekali (Sutanto, 2004).


BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Percobaan ini dilakukan di lahan Dasar Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian ± 25m dpl dimulai dari bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2009.
Bahan dan Alat
Adapun bahan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah benih bayam sebagai objek pengamatan, pupuk NPK mutiara menyukupi unsur hara tanaman, dan air untuk menyiram tanaman.
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul untuk mengolah lahan dan penyiangan gulma, meteran untuk mengukur lahan, jarak tanam, gembor sebagai alat menyiramkan air, timbangan untuk menimbang berat kangkung per sampel, tali untuk mengukur lahan serta penanda jarak tanam, alat tulis untuk menulis data, dan kalkulator untuk menghitung data tanaman, plank sebagai penanda lahan, dan parameter sebagai penanda sampel.
Metode Penelitian
Metode percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) non faktorial dengan empat taraf yaitu :


Kontrol (tanpa pemupukan)
N1 (200 kg/ha)
N2 (300 kg/ha)
N3 (400 kg/ha)
Data yang dikumpulkan, di analisis dengan sidik ragam linier sebagai berikut :
Yij = µ +ρi +αj+ Σij
Dimana : Yij = hasil pengamatan pada blok ke- i yang diberi pH perlakuan pupuk NPK pada perlakuan ke- j
μ = nilai rata-rata yang sebenarnya
ρi = pengaruh blok ke–i
αj = pengaruh dari perlakuan pemberian pupuk NPK pada blok ke-j
Σij = pengaruh galat pada blok ke-i yang mendapat perlakuan pemberian pupuk NPK pada pelakuan ke-j
Jika dari hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT)


PELAKSANAAN PERCOBAAN
Persiapan Lahan
Pengolahan lahan tanaman kangkung sama halnya dengan tanaman lainnya. Lahan diolah dengan menggunakan cangkul dengan membolak-balik tanah agar tercapai struktur tanah yang diinginkan. Di batasi ukuran lahan 2 x 2,5 meter dengan membuat drainase dengan lebar antar blok 50 cm, antar plot 30 cm dengan kedalaman 25 cm. Dengan jarak tanam 10 x 10 cm.
Aplikasi Kompos
Setelah dilakukan pembalikan ataupun pengolahan tanah kemudian dilakukan pemberian kompos kesetiap petakan, dengan setiap petakan satu bungkus atau 5 kg kompos dengan cara menaburkannya semua ke lahan sampai merata agar tanah yang akan ditanami menjadi subur.
Penanaman
Penanaman dilakukan dengan membuat lubang tanam sedalam ± 2 cm, setiap lubang tanam di tanam 3 benih bayam dengan jarak tanam 10 x 12 cm, dengan jarak tiap baris 20 cm.
Pemeliharaan Tanaman
Penyiraman
Penyiraman dilakukan tiap hari pada sore hari dengan menggunakan gembor atau dikondisikaan dengan curah hujan.
Penyiangan
Penyiangan gulma dilakukan dengan cara kultur teknis yang disesuaikan dengan kondisi gulma di lahan penyiangan dilakukan dengan cara menyangkul, atau dengan menyabut gulma dengan tangan.
Aplikasi Pupuk NPK
Aplikasi pupuk dilakukan dengan meletakkan pupuk pada barisan tanaman di dekat akar tanaman. Pemupukan dilakukan sesuai kombinasi perlakuan yang ditentukan.
Pengamatan Parameter
Tinggi Tanaman (cm)
Tinggi tanaman mulai di ukur dari pangkal batang tanaman hingga ujung daun yang telah di kuncupkan keatas. Pengamatan dilakukan seminggu sekali hingga seminggu sebelun pemanenan. Pengukuran dilakukan setelah tanaman berumur 2 MST.
Jumlah Daun (Helai)
Penghitungan daun tanaman dilakukan setelah tanaman berumur 2 minggu. Penghitungan ini dilakukan setiap minggunya. Cara pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah daun tanaman bayam yang telah membuka sempurna.



Produksi per Plot (g)
Produksi per plot diambil dari seluruh tanaman yang ada di plot. Tanaman diambil dari akar hingga ujung tanaman kemudian di timbang seluruh tanaman yang dipanen.
Produksi per Hektar (ton)
Produksi per hektar dihitung dengan rumus rata-rata sampel dikali dengan populasi. Populasi dapat dihitung dengan cara luas lahan 1 ha (10.000 m2) dibagi dengan jarak tanam.



HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Dari hasil percobaan didapatkan bahwa pemberian pupuk NPK berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman (cm), jumlah daun (helai), produksi per plot (kg), dan produksi per ha (ton) pada 2, 3, 4, 5, 6 MST.
Tinggi Tanaman (cm)
Tinggi tanaman berpengaruh nyata terhadap pemberian pupuk NPK mutiara pada 2, 3, 4, 5, 6 MST.
Jumlah Daun (helai)
Jumlah daun berpengaruh nyata terhadap pemberian pupuk NPK mutiara pada 2, 3, 4, 5, 6 MST.
Produksi per plot (g)
Produksi per plot berpengaruh nyata terhadap pemberian pupuk NPK mutiara pada 2, 3, 4, 5, 6 MST.
Produksi per ha (ton)
Produksi per hektar berpengaruh nyata terhadap pemberian pupuk NPK mutiara pada 2, 3, 4, 5, 6 MST.



Rataan tinggi tanaman dapat dilihat pada tabel berikut:





Dari tabel 1 diketahui bahwa rataan tinggi tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan N3, yaitu 40,98 cm dan terendah pada perlakuan N0, yaitu 10,87 cm.
Hubungan antara pupuk NPK mutiara dengan parameter tinggi tanaman bayam 6 MST dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar berikut:







Rataan jumlah daun dapat dilihat pada tabel berikut:






Dari tabel 2 diketahui bahwa rataan jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan N3, yaitu 24,75 dan terendah pada perlakuan N0, yaitu 11,43.
Hubungan antara pupuk NPK mutiara dengan parameter jumlah daun bayam 6 MST dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar berikut:








Rataan produksi per plot dapat dilihat pada tabel berikut:





Dari tabel 3 diketahui bahwa rataan produksi per plot tertinggi terdapat pada perlakuan N3, yaitu 1297,60 g dan terendah pada perlakuan N0, yaitu 329,00 g.
Hubungan antara pupuk NPK mutiara dengan parameter produksi tanaman bayam per plot dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar berikut:







Rataan produksi per Ha dapat dilihat pada tabel berikut:






Dari tabel 4 diketahui bahwa rataan produksi per Ha tertinggi terdapat pada perlakuan N3, yaitu 12,98 dan terendah pada perlakuan N0, yaitu 3,29 g.
Hubungan antara pupuk NPK mutiara dengan parameter produksi tanaman bayam per Ha dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar berikut:








Pembahasan
Dari hasil percobaan didapat bahwa tinggi tanaman dan jumlah daun berpengaruh nyata terhadap pemberian pupuk NPK mutiara, hal ini disebabkan karena pupuk NPK mutiara mengandung unsur N yang berperan dalam pertumbuhan tanaman khususnya pembentukan tunas dan perkembangan batang dan daun. Hal ini esuai dengan literatur Hasibuan (2006) yang menyatakan bahwa nitrogen dibutuhkan dalam jumlah yang besar pada setiap tahap pertumbuhan tanaman, khususnya pembentukan tunas atau perkembangan batang dan daun.
Produksi per plot dan produksi per Ha berpengaruh nyata terhadap pemberian pupuk NPK mutiara karena unsur hara pada pupuk NPK sangat mempengaruhi pertumbuhan vegetatif tanaman kangkung baik pada tinggi tanaman maupun jumlah daunnya sehingga mengakibatkan jumlah produksi yang besar. Hal ini sesuai dengan literatur Sutanto (2004) yang menyatakan bahwa dengan menggunakan unsur hara yang ada pada pupuk tanaman dapat memenuhi siklus hidupnya. Fungsi hara tanaman tidak dapat digantikan dengan unsur hara lainnya dan apabila tidak terdapat suatu hara tanaman, maka kegiatan metabolisme akan terganggu atau terhenti sama sekali.













KESIMPULAN
1.Pemberian pupuk NPK mempengaruhi pertumbuhan tanaman bayam, seperti tinggi tanaman dan jumlah daun.
2.Kekurangan unsur hara pupuk akan mengakibatkan penurunan produksi
3.Produksi per plot dan produksi per Ha tergantung pada pertumbuhan vegetatif tanaman bayam
4.Unsur N berperan dalam pembentukan tunas dan perkembangan batang dan daun
5.Kekurangan unsur N mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang kerdil












DAFTAR PUSTAKA
Azmi, C.2007.Menanam Bayam & Kangkung.Dinamika Pratama.Jakarta.
Bandini, Y dan N. Azis.2001.Bayam.Penebar Swadaya.Jakarta.
Hasibuan, B.E.2006.Ilmu Tanah.FP USU.Medan.
____________2008.Pupuk dan Pemupukan.FP USU.Medan.
Murtensen, E dan F.T. Bullard.1970.Handbook of Tropical and Subtropical Horticulture.Department of State Agency for International Development.Washington D.C.
Nazaruddin.2000.Budidaya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah.Penebar Swadaya.Jakarta.
Novary, E.W.1997.Penanganan dan Pengolahan Sayuran Segar.Penebar Swadaya.Jakarta.
Kesuburananah.Kanisius.Yogyakarta.
Rosmarkam,A dan N.A.Yuwono.2002.Ilmu Kesuburan Tanah.Kanisius.
Yogyakarta.
Sutanto, R.2004.Penerapan Bahan Organik.Kanisius.Yogyakarta.
Van Steenis, C.G.G.J.1978.Flora UGM Press.Yogyakarta.
Wirakusumah, E,W.1998.Buah dan Sayur untuk Terapi.Rineka Cipta.Jakarta.