Cari Blog Ini

Selasa, 08 Maret 2011

PENGUJIAN KETAHANAN BEBERAPA KLON TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP PENYAKIT GUGUR DAUN Corynespora CassicolaDAN PENANDAAN GEN-GEN KETAHANA

Penyakit Gugur Daun Corynospora
Salah satu penyakit yang akhir-akhir ini dianggap merupakan ancaman bagi perkebunan karet adalah penyakit gugur daun corynespora. Penyakit ini mengakibatkan pengguguran daun berulang sehingga tanaman akan mengalami peranggasan sepanjang tahun. Akibatnya, pertumbuhan tanaman akan terlambat dan penyadapan tanaman tidak dapat dilakukan. Selain tanaman dilapangan, corynespora juga menyerang tanaman dipembibitan dan kebun entres. Serangan hebat terutama terjadi dalam cuaca yang agak lembab dengan curah hujan ringan dam terus menerus (Hadi, 2003).
Sampai sejauh ini belum ada fungisida yang direkomendasikan untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini di lapang. Satu satunya cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah pekebun harus menggunakan bahan tanam dari klon yang tahan terhadap PGDC. Pemuliaan untuk mendapatkan tanaman yang tahan telah dilakukan, diawali dengan pemilihan klon yang tahan yang kemudian digunakan sebagai tetua dalam program persilangan. Informasi dan pemahaman mengenai ketahanan tanaman karet terhadap PGDC. Di samping itu keragaman genotip plasma nutfah karet merupakan modal dasar untuk keberhasilan program pemuliaan. Keragaman sangat penting untuk memperluas basis genetik dan kemungkinan mengeksploitasinya melalui penciptaan heterosis (Semangun, 2002).

C. cassicola (berk & Curt) Wei. Merupakan salah satu spesies yang paling penting dari jamur patogenik, yang dapat menyebabkan penyakit gugur daun Corynespora (PGDC) terutama dinegara-negara produksi karet di Asia Selatan dan Tenggara termasuk Indonesia (Sinulingga, dkk, 1996).
Corynespora menyerang daun tanaman karet pada daun muda atau daun tua. Pada daun muda yang terserang terlihat bercak hitam seperti menyirip, kemudian daun akan lemas, pucat pada bagian ujungnya, mati serta menggulung pada daun tua, bercak hitam tersebut dan sirip-siripnya tampak jelas. Bercak ini akan meluas sejajar urat daun, dan kadang-kadang tidak teratur. Bagian pusat bercak berwarna cokelat atau kelabu, kering dan berlobang. Daun akhirnya menjadi cokelat atau kemerahan kemudian gugur. Serangan corynespora biasanya berlangsung dengan lambat (Basuki,1982).
Darussamim, A., S. Prawirosoemardjo, Basuki, R. Azwar dan Sadaruddin, 1996 menyebutkan bahwa jamur Corynespora cassicola mempunyai benang-benang hifa berwarna hitam pucat, menghasilkan spora atau pada bercak yang hijau. Benang-benang hifa jamur dan sporanya kurang terlihat jelas pada permukaan daun. Jamur mempunyai banyak tumbuhan inang seperti ketela pohon, akasia, pepaya dan lain-lain (Hadi, 2003).
Sifat virulensi C. Cassicola dipengaruhi oleh agresifitasnya (efiisensi penyakit dan pertumbuhan penyakit dan sporulasi) dan kemampuannya memproduksi toksin. Dengan agresifitas yang kuat patogen akan memproduksi jumlah toksin yang lebih banyak, sehingga cukup untuk membuat daun tanaman menjadi rusak atau mati, misalnya pada klon RRIC 103, PPN 2058, PPN 2444, dan PPN 2447. Sebaliknya, meskipun agrefitasnya kuat, tetap jika ditoktisitas
toksinnya rendah tidak membuat daun tanamann rusak atau mati. Misalnya klon BPM 24 dan PR 260. Pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa C. Cassicola mempunyai kemampuan yang tinggi berevolusi. Hal ini terlihat bahwa patogen mempunyai banyak ras yang virulensi yang sangat beragam. Ras patogen tersebut berbeda dari waktu ke waktu (Sujatno,dkk, 1998)
Klon PB 260 dan RRIM 600 merupakan klon anjuran komersial penghasil lateks. Klon PB 260 tergolong tahan penyakit daun utama (C. cassicola), Colleotrichum, dan Oidium, tetapi kurang tahan terhadap angin sedangkan klon RRIM 600 sangat peka terhadap penyakit daun C. cassicola, moderat terhadap Colleotrichum dan cukup baik terhadap Oidium (Woelan, dkk, 1999).
Klon IRR seri 400 merupakan hasil persilangan tahun 1992, dari hasil seleksi terbaik sebanyak 10% masuk kedalam pengujian pendahuluan dan 1% masuk kedalam pengujian plot promosi dari hasil pengamatan pertumbuhan dipengujian plot promosi beberapa klon IRR seri 400 menunjukkan pertumbuhan lebih baik dibandingkan klon pembanding BPM 24, RRIC 100, PB 217 dan PB 260, kecuali IRR 416 (Woelan, 2007).
Mekanisme Ketahanan Tanaman Terhadap Hama

Kerusakan tanaman oleh hama dapat mencapai lebih dari 50%, tetapi belum pernah ada dalam sejarah bahwa suatu spesies tanaman musnah dari alam, sematamata disebabkan oleh hama. Hal ini menggambarkan bahwa secara alamiah tanaman mempunyai sistem perlindungan terhadap hama sehingga menjadi tahan. Suatu varietas disebut tahan apabila : (1) memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu menghindar, atau pulih kembali dari serangan hama pada keadaan yang akan mengakibatkan kerusakan pada varietas lain yang tidak tahan, (2) memiliki sifat-sifat genetik yang dapat mengurangi tingkat kerusakan, yang disebabkan oleh
serangan hama, (3) memiliki sekumpulan sifat yang dapat diwariskan, yang dapat mengurangi kemungkinan hama untuk menggunakan tanaman tersebut sebagai inang, atau (4) mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan varietas lain pada tingkat populasi hama yang sama (Sumarno, 1992).
Mekanisme pertahanan varietas terhadap hama, secara umum dapat digolongkan menjadi 3 macam (Panda dan Kush, 1995) yaitu : (1) antixenosis(nonpreference), (2) toleran, dan (3) antibiosis. Sedangkan menurut Morrill (1995), ketahanan tanaman terhadap hama dapat berupa : (1) avoidance (tanaman menyelesaikan siklus hidupnya sebelum munculnya hama), (2) tolerance (tanaman mampu recovery dari serangan hama), (3) antibiosis (tanaman menghasilkan toksin yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan hama). Ketahanan tanaman inang, dapat bersifat : (1) genik, sifat tahan diatur oleh sifat genetik yang dapat diwariskan, (2) morfologik, sifat tahan yang disebabkan oleh sifat morfologi tanaman yang tidak menguntungkan hama, dan (3) kimiawi, ketahanan yang disebabkan oleh zat kimia yang dihasilkan oleh tanaman. Berdasarkan susunan dan sifat gen, ketahanan genetik dapat dibedakan menjadi : (1) monogenik, sifat tahan diatur oleh satu gen dominan atau resesif, (2) oligenonik, sifat tahan diatur oleh beberapa gen yang saling menguatkan satu sama lain, (3) polygenik, sifat tahan diatur oleh banyak gen yang saling menambah dan masing-masing gen memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap biotipe hama sehingga mengakibatkan timbulnya ketahanan yang luas.
Ketahanan genetik juga dapat dibedakan menjadi beberapa tipe : (1) ketahanan vertikal, ketahanan hanya terhadap satu biotipe hama, dan biasanya bersifat sangat tahan tetapi mudah patah oleh munculnya biotipe baru, (2) ketahanan horizontal atau ketahanan umum, ketahanan terhadap banyak biotipe hama dengan
derajat ketahanan “agak tahan “, dan (3) ketahanan ganda, memiliki sifat tahan terhadap beberapa jenis hama.
Identifikasi Klon Dengan Teknik Molekuler
Akhir-akhir ini marka berbasis DNA yang secara langsung membandingkan materi genetik antar individu tanaman cukup intensif dilakukan. Sistem ini telah merevolusi bidang pemetaan genetik yang antara lain dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan keragaman genetik, klasifikasi dan filogeni yang berhubungan dengan pengelolaan plasma nutfah, dan sebagai alat bantu dalam pemuliaan dan seleksi melalui penandaan gen. Mikrosatelit dan minisatelit misalnya, telah digunakan dalam sidik jari DNA untuk mendeteksi variasi genetik, identifikasi varietas dan genotyping. Mikrosatelit adalah salah satu marka molekuler berbasis DNA yang mempunyai sekuen DNA sederhana, terdiri dari 2-6 pasang basa yang berulang sehingga sering disebut juga dengan Simple Sequence Repeats (SSRs) (Jacob et al., 1991). Mikrosatelit ini banyak dijumpai pada genom eukaryotik dan umumnya terdistribusi secara merata pada genom organisme tertentu. Urutan berulang-ulang tersebut membentuk motif yang unik pada suatu jenis organisme. Marka ini bersifat kodominan dan dapat mendeteksi keragaman alel pada level tinggi serta mudah dan relatif ekonomis dalam aplikasinya karena menggunakan teknik PCR.
Marka DNA telah digunakan secara ekstensif dalam sidik jari genotipe. Peta-pola pita merupakan metode yang sangat tepat dan jelas dalam menjelaskan sidik jari DNA secara individual. Dari satu peta dapat diperoleh frekuensi pola pita dan di pihak lain informasi mengenai dengan jumlah pita. Peta-pola pita
secara jelas mengilustrasikan frekuensi produk secara aktual dan kejadian yang sama dalam studi aksesi yang lain. Metode ini yang memfasilitasi identifikasi marka spesifik pada suatu kelompok atau taksa tertentu (Powel et al., 1991). Sidik jari DNA dalam aplikasinya juga bermanfaat dalam penetuan kemurnian benih, dalam resolusi mengenai ketidak jelasan tetua, untuk proteksi secara legal dari varietas yang telah maju, dan di dalam uji genetik (Weising et al., 1998; Caetano Anolles et al., 1991). Keragaman genetik yang menggunakan marka molekular juga telah banyak diaplikasikan di dalam studi biodiversitas, identifikasi varietal, dan analisis filogenetik


DAFTAR PUSTAKA

Basuki, 1982. Penyakit dan Gangguan Pada Tanaman Karet. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanjung Morawa, Medan.

Darussamim, A., S. Prawirosoemardjo, Basuki, R. Azwar dan Sadaruddin, 1996. Rumusan Lokakarya Penyakit Gugur Daun Corynespora pada Tanaman Karet, Indonesia Rubber Reaserch Institute, Pusat Penelitian Karet, Medan. Desember 16-17 Desember, hal. Ixiv.

Hadi, H., 2003. Analisis Genetik sifat Ketahanan Tanaman Karet Terhadap Penyakit Gugur Daun Corynespora, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hal. 1-3.

Jacob, H.J., K. Lintpaintner, K. Lincodpaintner, S.E. Lincoln, K. Kusumi, R.K. Bunker, Y.P. Mao, D. Ganten, V.J. Dzau, and E.S. Lander. 1991. Genetic mapping of gene causing hypertension in the strokeprone spontaneously hypertensile rat.

Mathius, N. T., Z. Lalu, Soedarsono, dan H., Aswidinnoor, 2002. Keragaman genetik klon-klon karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) yang resisten dan rentan terhadap Corynespora casiicola berdasarkan penanda RAPD dan AFLP. 3http://www.ibriec.org/menara_perkebunan/download.php?id=10. Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan, Bogor 16151, Indonesia Fakultas Biologi, Universitas Mataram, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16151.

Morrill, W.L., 1995. Insect pests of small grains. APS Press. St. Paul, Mineasota.

Panda N. dan G.S. Kush, 1995. Host Plant Resistance to Insects. Cabinternational IRRI. Los-Banos, Philippines.

Prawirosoemardjo, S., 2003. Pengendalian Penyakit Karet, Materi pada Workshop Pengendalian KAS dan Penyakit Penting Tanaman Karet, Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet, hal. 12-13.

Prawirosoemardjo, S., dan A. Setyawan, 1995. Sebaran Penyakit Utama Tanaman Karet di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, Prosiding Lokakarya Nasional Pemualiaan Tanaman Karet 1995, PUsat Penelitian Karet Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Medan, 29-30 November, hal. 219-236.

Semangun, H., 2002. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia, UGM Press, Yogyakarta, hal. 91-97.


Sinulingga, W., Suwanto and H. Soepena, 1996. Perkembangan Penyakit Gugur Daun Corynespora di Indonesia. Prosiding Lokakarya Penyakit Gugur Daun Corynespora pada Tanaman Karet, Pusat Penelitian Karet, Medan, 16-17 Desember, hal. 29-35.
Situmorang, A., A. Budiman, S. Prawirosoemardjo and M. Lasminingsih, 1996. Epidemic of Corynespora Leaf Fall Disease and its Preventive Methods on Hevea Rubber. Proceeding of Workshop on Corynespora Leaf Fall of Hevea Rubber in Medan, Pusat Penelitian Karet, December 16-17, p. 111-125.

Situmorang, Aron dan Arif Budiman, 1984. Penyakit Tanaman Karet dan Pengendaliannya. Balai Penellitian Sembawa, Badan Pertanian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Palembang.

Sujatno, Syafuddin, dan S. Prawirosoemrdjo, 1998. Resistensi Klon Harapan Terhadap Penyakit Utama Tanaman Karet. Prosiding Lokakarya Naional Pemuliaan Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet Alam Abad 21, Pusat Penelitian Karet, Asosiasi Penelitian Karet Indonesia. Pusat Penelitian Karet 8-9 Desember, hal. 223-229.

Woelan, S., 2007. Pengujian Klon Karet Harapan IRR seri 100, 200 dan 300 pada Daerah Beriklim Basah dan Lingkungan Spesifik di Sumatera Utara. Laporan Tahunan Penyelesaia Pelaksanaan DIPA Satuan Kerja Balai Penelitian Sungei Putih. Pusat Penelitian Karet, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Sumarno, 1992. Pemuliaan Untuk Ketahanan Terhadap Hama. Prosiding symposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar